Senin 04 Apr 2022 14:48 WIB

Pakar Kedokteran Hewan Sindir Konten Kreator yang Manfaatkan Satwa Liar

Pakar kedokteran hewan Unair menyindir konten kreator yang memanfaatkan satwa liar.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
 Aktivis kehidupan liar melakukan aksi teatrikal menggunakan kostum badak saat mengikuti kampanye Hari Kehidupan Liar Sedunia. Pakar kedokteran hewan Unair menyindir konten kreator yang memanfaatkan satwa liar.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Aktivis kehidupan liar melakukan aksi teatrikal menggunakan kostum badak saat mengikuti kampanye Hari Kehidupan Liar Sedunia. Pakar kedokteran hewan Unair menyindir konten kreator yang memanfaatkan satwa liar.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kedokteran hewan Universitas Airlangga (Unair) Boedi Setiawan mengatakan, memelihara satwa liar memang menjadi suatu kegemaran tersendiri bagi sebagian orang.

Namun, kata dia, tidak jarang satwa liar tersebut dijadikan konten oleh para influencer. Hal tersebut memungkinkan kenaikan permintaan satwa liar dan perburuan secara ilegal.

Boedi menyebutkan, satwa liar seharusnya berada di habitat asalnya dan tidak didomestikasi, terlebih satwa yang dilindungi. Menurutnya, masyarakat tetap boleh memanfaatkan hewan, tetapi harus memerhatikan terlebih dahulu satwa tersebut dilindungi atau tidak.

“Jika masih banyak di alam, silakan. Namun tetap harus diawasi. Contohnya biawak air tidak dilindungi, kalau diburu secara terus menerus lama kelamaan akan punah,” ujar Boedi Senin (4/4/2022).

Pemerhati dan fotografer satwa liar itu juga menjelaskan, satwa memiliki fungsinya masing-masing di alam. Baik sebagai predator maupun makanan predator dalam ekosistem. Jika salah satunya punah, maka rantai makanan akan terganggu.

“Satu hilang, maka populasi lain akan meningkat. Maka dari itu harus tetap dijaga supaya tetap ada di alam. Jika jumlahnya sudah semakin habis, harus dilindungi oleh negara,” kata dia.

Boedi mengungkapkan, untuk mencegah kepunahan l, satwa liar tetap dapat dipelihara dengan maksud melestarikan keberadaannya. Namun, hal tersebut memiliki kriteria-kriteria tersendiri yang telah diatur oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

“Kalau sifatnya penangkaran, hewan yang dipelihara akan didata dan diberi tanda merupakan hasil budidaya dari penangkaran tersebut,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, bibit satwa liar yang akan dibudidayakan tidak boleh berasal dari alam liar, tetapi dari penangkaran yang telah ada sebelumnya. Hasil dari budidaya tersebut nantinya harus dikembalikan ke alam liar.

“BKSDA yang akan menentukan alamnya. Bukan asal lepas liar, tetapi harus sesuai dengan hebitatnya. Intinya, tujuan memilihara satwa liar adalah budidaya penangkaran, bukan untuk koleksi semata,” kata Boedi.

Boedi juga mengimbau masyarakat untuk tidak membawa satwa liar ke rumah dan berniat memilikinya. Ia menyebutkan, masyarakat yang menggemari satwa liar dapat melihatnya langsung di habitat ataupun lembaga konservasi satwa dengan tetap memerhatikan aspek kesejahteraan hewan.

Dengan membawa satwa liar ke rumah dan menganggapnya sebagai hewan peliharaan, kesejahteraan hewan akan sulit terpenuhi. Menurut Boedi, jika satwa tersebut berada di alam akan lebih mudah untuk menjaga produktivitas, sehingga terhindar dari kepunahan. Selain itu, satwa juga dapat bersosialisasi dengan kawanannya.

“Kalau misalnya ada niatan untuk memelihara satwa liar, itu bukan mencintai, tetapi menghilangkan dan mempercepat kepunahan jika tidak memperhatikan kesejahteraan hewannya. Peliharalah satwa di habitatnya,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement