REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Wakil Perdana Menteri Lebanon Saadeh al-Shami mengatakan, negaranya sudah menghadapi kebangkrutan. Bank sentral negara tersebut mengalami kondisi serupa.
“Negara telah bangkrut seperti halnya Banque du Liban (bank sentral Lebanon). Kerugian telah terjadi dan kami akan berusaha mengurangi kerugian rakyat,” kata al-Shami saat diwawancara media lokal Al-Jadeed, dikutip Anadolu Agency, Senin (4/4/2022).
Al-Shami menjelaskan, situasi negara “tidak dapat diabaikan”, sehingga penarikan bank tidak dapat dibuka untuk semua orang. “Saya berharap kami berada dalam situasi normal,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, kerugian bakal didistribusikan di antara negara bagian, Banque du Liban, bank-bank, dan deposan. “Tidak ada konflik pandangan tentang pembagian kerugian,” ucapnya.
Sejak akhir 2019, Lebanon telah bergulat dengan krisis ekonomi yang parah, termasuk depresiasi mata uang besar-besaran serta minimnya suplai bahan bakar dan medis. Mata uang Lebanon telah kehilangan 90 persen nilainya. Hal itu mengikis kemampuan masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasar, termasuk makanan, air, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Sejak 2019, penarikan tunai dalam mata uang asing di Lebanon telah dibatasi secara ketat. Di sisi lain, tak adanya suplai bahan bakar memicu pemadaman listrik secara luas di negara tersebut. Kondisi itu tentu kian membuat kehidupan warga terpuruk.
Pandemi Covid-19 memberi pukulan lain kepada Lebanon. Sejauh ini negara tersebut sudah mencatatkan lebih dari 1 juta kasus dengan korban meninggal mencapai 10.315 jiwa.