Selasa 05 Apr 2022 08:45 WIB

Lebih Banyak Sanksi Baru untuk Rusia, Harga Minyak Melonjak Tajam

Harga minyak naik tajam karena investor khawatir soal sanksi baru untuk Rusia

SPBU West Hollywood, California, Amerika Serikat
Foto: AP Photo/Jae C. Hong
SPBU West Hollywood, California, Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak naik tajam lebih dari tiga persen pada akhir perdagangan Senin (4/4/2022) atau Selasa (5/4/2022) pagi WIB. Investor khawatir tentang pasokan yang lebih ketat karena meningkatnya kematian warga sipil di Ukraina. Kekhawatiran itu menyusul meningkatnya tekanan terhadap negara-negara Eropa untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi pada sektor energi Rusia.

Patokan global minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni melonjak 3,14 dolar AS atau 3,0 persen, menjadi menetap di 107,53 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei bertambah 4,01 dolar AS atau 4,0 persen, menjadi ditutup di 103,28 dolar AS per barel. Perdagangan bergejolak dengan kedua kontrak acuan menguat setelah turun lebih dari satu dolar AS.

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin dan pendukungnya akan "merasakan konsekuensi" dari peristiwa di Bucha, di luar ibu kota Kiev. Di kota itu, kuburan massal dan mayat terikat ditembak dari jarak dekat ditemukan. Sekutu Barat akan menyetujui sanksi lebih lanjut terhadap Moskow dalam beberapa hari mendatang, katanya, meskipun waktu dan jangkauan paket baru itu belum jelas.

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyarankan sanksi terhadap minyak dan batu bara, menambahkan ada "petunjuk yang sangat jelas yang menunjukkan kejahatan perang" oleh pasukan Rusia.

Baca juga : Mufti Ukraina Sebut Invasi Rusia Buat Umat Islam di Negaranya Kesulitan Beribadah Puasa

Sejak invasi Rusia 24 Februari ke Ukraina, sanksi dan penghindaran pembeli terhadap minyak Rusia telah mengurangi produksi dan meningkatkan kekhawatiran pasokan yang lebih ketat.

"Ketika AS dan Uni Eropa mengurangi pembelian minyak Rusia, itu membuat China dan India sebagai pelanggan utama yang tersisa dan banyak kilang di negara-negara itu mungkin enggan membeli minyak Rusia, karena hubungan masyarakat negatif yang terkait," kata Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates di Houston.

Minyak mentah anjlok sekitar 13 persen pekan lalu, setelah Presiden Joe Biden mengumumkan rekor pelepasan cadangan minyak AS, dan ketika anggota Badan Energi Internasional berkomitmen untuk lebih lanjut memanfaatkan cadangan. Minyak mentah Brent mencapai 139 dolar AS bulan lalu, tertinggi sejak 2008.

Sementara itu, produsen minyak negara Arab Saudi Aramco menaikkan harga jual resmi Mei ke Asia untuk minyak mentah Arab Light andalannya, menurut dokumen harga yang dilihat oleh Reuters.

"Itu menunjukkan permintaan minyak masih sangat kuat, dan dengan melakukan itu akan menguras pasokan minyak dari Amerika Serikat dan membuat pasokan lebih ketat," kata Phil Flynn, seorang analis di Price Futures Group.

Baca juga  : Menkeu Jerman: Uni Eropa Harus Segera Akhiri Hubungan Ekonomi Dengan Rusia

Minyak mendapat dukungan dari jeda dalam pembicaraan di Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran, yang akan memungkinkan pencabutan sanksi terhadap minyak Iran. Iran menyalahkan Amerika Serikat atas penghentian tersebut.

Tekanan turun terhadap minyak datang dari gencatan senjata di Yaman, yang dapat meredakan ancaman pasokan di Timur Tengah. Untuk pertama kalinya dalam konflik tujuh tahun, PBB telah menengahi gencatan senjata dua bulan antara koalisi yang dipimpin Saudi dan kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran. Fasilitas minyak Saudi telah diserang oleh Houthi selama pertempuran.

sumber : Antara / Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement