REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ibadah agung seperti puasa dalam syariat yang mulia pastilah mempunyai makna dan relevansi yang mendalam, baik dari aspek penamaan, waktu, dan ritual yang dilaksanakan. KH Jeje Zanudin mengatakan dipilihnya syariat puasa di bulan Ramadhan mempunyai korelasi dan relevansi yang serasi antara tujuan dan hikmah pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan.
"Menurut sebagian ulama, dinamakannya bulan Ramadhan karena pada saat awal penetapan nama-nama bulan bertepatan dengan musim yang amat panas," tulis KH Jeje dalam bukunya Seputar Masalah Puasa, Itikaf, Lailatul Qadar dan Lebaran.
'Ramadha-yarmidhu' artinya terbakar terik matahari. 'Al-Ramdha' artinya sangat panas. Orang yang berpuasa merasakan panasnya tenggorokan karena saking hausnya. (Lisanul Arab, Ibnu Mandhur: VII, hlm. 160).
"Ramadhan juga menjadi simbol bahwa orang berpuasa sedang membakar jiwanya untuk menghanguskan syahwat dan hawa nafsunya sehingga ia terbebas dari dosa," katanya.
Atau ia sedang membakar dosa-dosanya dengan penderitaan lapar dan haus karena mengharap ampunan dan cinta Allah semata (Fathul Bari:IV,hlm.113). Maka bulan Ramadhan adalah bulan di mana nafsu dan syahwat orang-orang beriman dibakar sehangus-hangusnya.
"Dengan puasa sehingga ia tidak lagi mendominasi pikiran dan hatinya sampai ia menjadi manusia yang bersih dari debu-debu dosa," katanya.
Sebaliknya akal dan hatinya disehatkan dan dikuatkan agar menjadi pemimpin dalam hidupnya. Untuk itu puasa dapat menyehatkan jiwa dan raganya seorang hamba sehingga mudah bertakwa kepada Allah SWT.
Alquran surat Al Baqarah ayat 183 menegaskan puasa untuk menjadikan pelakunya menjadi orang yang bertakwa. Selain surat Al Baqarah ayat 183-185 dan ayat 187 merupakan dalil perintah puasa, serta sejumlah hadis sahih riwayat al-Bukhari. Allah SWT befirman dalam surat Al Baqarah ayat 183 yang artinya,
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."