Para jenderal militer Myanmar berkumpul di Naypyidaw untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata tahunan pada 27 Maret lalu. Terdapat pameran yang menampilkan parade tank, misil yang dipasang di atas truk, dan pasukan berkuda.
Namun, ada satu kemunduran, tidak ada pejabat asing yang menghadiri acara itu. Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin yang menghadiri peringatan tersebut pada tahun 2021, beberapa bulan setelah junta secara paksa mengambil alih kekuasaan dalam kudeta berdarah, tidak hadir pada tahun ini meskipun diundang.
Rusia telah menjadi salah satu dari sedikit pendukung junta sejak kudeta pada Februari 2021, sebuah kemitraan yang mencakup pengiriman sejumlah besar senjata buatan Rusia. Sebagai imbalannya, junta Myanmar mendukung invasi Rusia ke Ukraina dan menyebutnya sebagai "tindakan yang tepat."
Rusia adalah eksportir pertahanan utama Asia Tenggara
Rusia adalah pemasok senjata utama di Asia Tenggara, dengan menjual peralatan pertahanan senilai sekitar $10,7 miliar (Rp153,6 triliun) ke kawasan itu antara tahun 2000 dan 2019, menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
SIPRI merinci sebagian besar senjata dikirim ke Vietnam, sehingga hampir 80% peralatan militer Vietnam dipasok oleh Rusia sejak tahun 2000. Sedangkan antara 2015 dan 2021, Rusia menjual senjata senilai $247 juta (Rp3,5 triliun) ke Myanmar, $105 juta (Rp1,5 triliun) ke Laos, dan $47 juta (Rp675 miliar) ke Thailand.
Hunter Marston, peneliti Asia Tenggara di Australian National University, mengatakan beberapa perangkat keras militer dari Rusia kemungkinan masih dijadwalkan tiba di Myanmar. "Saya cukup yakin lebih banyak lagi yang akan datang," kata Marston.
"Pada titik tertentu, [militer] membutuhkan ahli teknis Rusia untuk memperbaiki armada helikopternya, dan tidak jelas bagaimana mereka melakukannya jika industri pertahanan Rusia semua fokus pada Ukraina,” katanya.
ASEAN dalam sikap "wait and see"
Pada 9 Maret lalu, pemerintah Filipina mengatakan akan melanjutkan kesepakatan untuk membeli 17 helikopter angkut militer dari Rusia yang telah ditandatangani dan dibayar sebagian sebelum invasi Rusia ke Ukraina.
"Pengamat urusan militer kecewa dengan pembelian perangkat keras Rusia bahkan sebelum invasi,” kata Joshua Bernard Espena, seorang analis pertahanan yang berbasis di Manila.
Namun, pemerintah Asia Tenggara menghadapi dilema ketika perang Ukraina memasuki minggu keenam, di tengah serangkaian dugaan kekejaman Rusia yang terus bertambah dan ketika para pemimpin Barat menyerukan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk diadili atas kejahatan perang.
Pengadaan senjata dan latihan bilateral dengan Rusia "akan menjadi isu yang sangat sensitif bahkan setelah perang di Ukraina berakhir," kata Carl Thayer, seorang profesor emeritus dari Universitas New South Wales di Australia.
"Sebagian besar negara kawasan dan ASEAN sendiri akan mengambil sikap menunggu dan mengamati dengan hati-hati agar tidak meningkatkan ketegangan atau menjatuhkan sanksi hukuman seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa," kata Thayer.
Ketergantungan pada senjata Rusia
Uni Eropa, misalnya, dapat memberikan sanksi terhadap pemasok senjata Rusia kepada militer Myanmar, kata Kristina Kironska, seorang akademisi berbasis di Bratislava yang mengkhususkan diri di Myanmar.
"Saya yakin Rusia dan Myanmar akan menemukan cara untuk bekerja sama," katanya.
AS kemungkinan bisa berbuat lebih banyak. Pada 2017, negara itu memperkenalkan undang-undang melawan musuh Amerika melalui sanksi (CAATSA), yang dapat mengancam penjatuhan sanksi terhadap pemerintah asing yang membeli senjata dari Rusia.
Namun, negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam, serta India, mendapat keringanan dari Washington dengan syarat mereka mengurangi ketergantungan peralatan militer pada Rusia.
Indonesia sedang merundingkan pembelian pesawat tempur Su-35 buatan Rusia, tetapi ancaman sanksi CAATSA membuat pemerintahnya berpikir ulang dan akhirnya pada Februari lalu menandatangani kesepakatan $8,1 miliar (Rp116,3 triliun) dengan Prancis untuk pembelian jet Rafale. Meski demikian, Indonesia tidak memutuskan hubungan militernya dengan Rusia.
Senjata Rusia umumnya dipandang lebih terjangkau. Bahkan jika ada penghentian perlahan, militer Asia Tenggara yang sudah bergantung pada peralatan Rusia pada titik tertentu perlu membeli suku cadang atau peningkatan perangkat keras. Namun, karena bank-bank besar Rusia telah dikeluarkan dari jaringan pembayaran global SWIFT, akan sulit bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan pembayaran. (ha/vlz)