REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Kesepakatan keamanan antara China dan Kepulauan Solomon telah membuat gempar di seluruh Pasifik Selatan. Banyak pihak khawatir kesepakatan keamanan ini dapat memicu penumpukan militer skala besar.
Kehadiran militer China di Kepulauan Solomon akan semakin mendekatkan Beijing ke wilayah Australia dan Selandia Baru. Termasuk, wilayah Guam yang menjadi pangkalan militer AS terbesar.
China sejauh ini hanya mengoperasikan satu pangkalan militer asing yang diakui, di negara Tanduk Afrika, tepatnya di Djibouti. Banyak yang percaya bahwa, Tentara Pembebasan Rakyat China sibuk membangun jaringan militer di luar negeri, bahkan jika mereka tidak menggunakan istilah “pangkalan.”
Pemerintah Kepulauan Solomon mengatakan, draf perjanjian keamanan dengan China telah diparaf pekan lalu dan segera ditandatangani secara resmi. Rancangan perjanjian keamanan tersebut telah bocor ke publik. Rancangan itu mengatakan bahwa, kapal perang China dapat berhenti di Kepulauan Solomon untuk pengisian logistik.
Selain itu, China dapat mengirim polisi, personel militer, dan angkatan bersenjata lainnya ke Kepulauan Solomon untuk membantu menjaga ketertiban sosial.
Kepulauan Solomon mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Beijing pada 2019. Langkah ini mendapatkan pertentangan, dan menjadi penyebab kerusuhan pada November tahun lalu.
Pada Februari, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, Washington akan membuka kembali kedutaannya di Ibu Kota Honiara, yang telah ditutup sejak 1993. Pembukaan kembali kedutaan AS bertujuan untuk meningkatkan pengaruhnya di Kepulauan Solomon
China maupun Solomon dengan tegas membantah bahwa pakta keamanan baru akan mengarah pada pendirian pangkalan militer China. Pemerintah Kepulauan Solomon mengatakan, pakta itu diperlukan karena mereka memiliki kemampuan yang terbatas untuk menangani pemberontakan dengan kekerasan seperti yang terjadi pada November lalu. “Negara ini telah dirusak oleh kekerasan internal yang berulang selama bertahun-tahun,” kata pernyataan pemerintah Kepulauan Solomon.
Australia, Selandia Baru, dan AS telah menyatakan kekhawatirannya tentang kesepakatan keamanan antara Kepulauan Solomon dengan Cina. Presiden Mikronesia, David Panuelo, yang memiliki hubungan dekat dengan AS, menulis surat kepada Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare.
Dalam surat itu, Panuelo meminta Sogavare untuk memikirkan kembali perjanjian keamanan dengan Cina. Panuelo mencatat bahwa, Mikronesia dan Kepulauan Solomon adalah medan pertempuran selama Perang Dunia II, yang terperangkap dalam bentrokan kekuatan besar.
“Saya yakin bahwa tidak satu pun dari kita ingin melihat konflik dengan cakupan atau skala itu lagi, dan terutama di halaman belakang kita sendiri,” tulis Panuelo dalam suratnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan, perjanjian itu bertujuan untuk menjaga keselamatan nyawa dan harta benda orang, dan tidak memiliki nuansa militer. Juru bicara itu mengatakan, spekulasi media tentang potensi pengembangan pangkalan militer tidak berdasar.
Seorang rekan senior di Institut Internasional untuk Studi Strategis yang berbasis di Singapura, Euan Graham, mengatakan, China telah mengejar fasilitas pelabuhan selama sekitar lima tahun. China memiliki tujuan untuk memperluas kehadiran angkatan lautnya di Pasifik Selatan sebagai bagian dari upaya panjang Beijing untuk menjadi kekuatan regional yang dominan.
“Jika mereka ingin menembus Pasifik, pada titik tertentu mereka akan membutuhkan kemampuan logistik untuk mendukung kehadiran itu. Kami tidak berbicara tentang rencana perang di sini; ini benar-benar tentang memperluas kehadiran dan pengaruh mereka," ujar Graham.
Graham mengatakan, China membangun pangkalan militer di Djibouti karena memiliki kepentingan komersial di kawasan itu untuk dilindungi. Sementara menurut Graham, operasi apa pun di Kepulauan Solomon kemungkinan akan kurang substansial.
“Ini adalah permainan geopolitik yang cukup halus dan menarik yang muncul di Pasifik Selatan. Dan saya pikir Cina telah sangat sukses, dalam mengungguli Amerika Serikat dan Australia dalam persaingan pengaruh, bukan persaingan militer," kata Graham.