REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta Presiden Joko Widodo agar kembali menetapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) pada seluruh jenis minyak goreng seperti sebelumnya yang telah dilakukan.
Ketua BPKN, Rizal Edy Halim, mengatakan, pada situasi seperti ini dibutuhkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat secara penuh untuk memberikan manfaat seluas-luasnya. Permintaan tersebut, kata dia, juga telah disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo sebagai rekomendasi resmi dari BPKN.
"Rekomendasi kami, agar pemerintah menerapkan HET minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan premium Rp 14 ribu per liter," kata Rizal dalam konferensi pers, Kamis (7/4/2022).
Besaran HET tersebut sama seperti yang diterapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebelumnya. Rizal mengatakan, rekomendasi HET tersebut itu sudah memperhitungkan harga pokok produksi dan nilai keekonomiannya. Termasuk, besaran biaya sarana produksi, inflasi, dan daya beli masyarakat serta margin yang diterapkan industri.
Diketahui, saat ini Kemendag hanya menerapkan HET minyak goreng curah sebesar Rp 14 ribu per liter. Adapun untuk kemasan sederhana dan premium dilepaskan sesuai mekanisme pasar yang berakibat pada lonjakan harga dan tembus hingga lebih dari Rp 24 ribu per liter.
"Kenapa kami tidak merekomendasikan ke mekanisme pasar? karena kalau dilepas saat situasi saat ini, masyarakat kita akan menjadi korban nantinya," kata Rizal.
Selain merekomendasikan HET, BPKN juga meminta agar pemerintah menetapkan DMO minyak sawit (CPO) sebesar 30 persen namun pasokan DMO harus dipegang dan dikendalikan oleh pemerintah. Tanpa itu, akan sulit dalam melaksanakan kebijakan DMO.
Adapun rekomendasi terakhir, yakni memperkuat pengawasan dan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang menghambat distribusi atau dengan sengaja menyebabkan kelangkaan pasokan minyak goreng.
Lebih lanjut, ia menegaskan, tren kenaikan harga minyak sawit (CPO) dunia seharusnya tidak dapat mendikte harga CPO dalam negeri. Sebab, Indonesia merupakan negara net eksportir CPO terbesar di dunia.
Kondisi berbeda dengan bahan bakar minyak karena Indonesia menjadi negara net importir sehingga sangat tergantung pada harga dunia."Kita adalah price setter. Penentu harga. Walau ada keterkaitan pasar dunia dan domestik, kita tidak tergantung ke harga CPO dunia. Pemerintah bahkan bisa membatasi harga demi kepentingan nasional, pada titik ekstrem juga bisa melakukan larangan terbatas," kata dia.
Ia pun menilai, yang terjadi saat ini adalah pemaksaan kondisi CPO dunia terhadap CPO di dalam negeri. Itu karena adanya kesempatan yang melahirkan oportunis.
"Pelaku usaha memang tidak bisa disalahkan karena ada peluang, tapi yang bisa dilakukan adalah memagari situasi ini dengan kebijakan," kata dia.