Kamis 07 Apr 2022 16:46 WIB

BPKN Minta Pemerintah Terapkan DMO 30 Persen Sebagai Syarat Ekspor Sawit

Kebijakan DMO sawit juga perlu didukung oleh kebijakan pengurangan biaya ekspor.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi kelapa sawit
Ilustrasi kelapa sawit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta agar pemerintah kembali menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) sebesar 30 persen sebagai syarat wajib untuk mendapatkan izin ekspor. DMO sawit dibutuhkan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri, khususnya minyak goreng.

Ketua BPKN, Rizal Edy Halim, mengatakan, kebijakan DMO tersebut juga perlu didukung oleh kebijakan pengurangan biaya ekspor. Cara itu dapat menjadi atribusi kompensasi dan manfaat kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat luas.

Baca Juga

"Awalnya kita lihat DMO 25 persen cukup, tapi karena ada permintaan Presiden untuk mengatasi dahulu isu kelangkaan, maka 30 persen ini sangat memadai dan melimpah untuk memenuhi ketersediaan pasokan dalam negeri," kata Rizal dalam konferensi pers, Kamis (7/4/2022).

Permintaan kebijakan DMO tersebut merupakan salah satu rekomendasi dari tiga poin rekomendasi yang telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Di antaranya yakni, penerapan HET minyak goreng seluruh jenis kemasan seperti sebelumnya yang telah diterapkan, DMO sawit, serta penguatan pengawasan dan sanksi tegas.

Rizal mengatakan, Indonesia adalah negara net eksportir sawit terbesar di dunia sehingga seharusnya tidak dapat didikte oleh situasi global. Apalagi, saat ini tidak terdapat gangguan produksi dalam negeri seperti gangguan cuaca, hama, maupun biaya tenaga kerja yang tetap murah. Kenaikan biaya produksi yang terjadi yakni hanya harga pupuk yang sekitar 5-6 persen.

"Pada titik ekstrem, pemerintah bisa melakukan lartas (larangan dan pembatasan) untuk ekspor. Ada sansksi WTO? Ada. Tapi untuk argumentasi kepentingan nasional itu bisa kita lakukan. Makanya ada yang namanya safeguard," kata Rizal.

Lebih lanjut, ia menegaskan, harga minyak sawit dunia yang tinggi saat ini semestinya tidak dapat mempengaruhi harga dalam negeri. Sebab, Indonesia adalah produsen dan tidak mengimpor CPO sama sekali. Berbeda hal pada komoditas bahan bakar minyak fosil di mana Indonesia menjadi negara net importir sehingga bergantung pada harga dunia.

Namun, yang terjadi saat ini adalah pemaksaan kondisi CPO dunia terhadap CPO di dalam negeri. Itu karena adanya kesempatan yang melahirkan oportunis. "Pelaku usaha memang tidak bisa disalahkan karena ada peluang, tapi yang bisa dilakukan adalah memagari situasi ini dengan kebijakan," kata dia.

Ia pun menilai, dengan kebijakan DMO serta HET minyak goreng tidak ada pelaku usaha yang dirugkan. "Yang ada, kita hanya meminta kesediaan industri baik produsen maupun distributor untuk mengurangi sedikit potensi keuntungannya di tengah situasi masyarakat kita saat ini," katanya menambahkan.

Sementara itu, Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Arief Safari, menambahkan, dalam hal kebijakan DMO, pemerintah harus memegang fisik minyak sawit agar dapat mengontrol distribusinya.

Pasalnya, kebijakan DMO 20 persen yang sebelumnya diterapkan, tidak disertai pada penguasaan fisik barang sehingga sulit di awasi. "Ini akan kesulitan ketika tidak tahu fisik barangnya ada di mana," kata dia.

 Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, mengatakan, perlu strategi khusus agar Indonesia menentukan harga minyak sawit untuk pasar dalam negeri. Salah satunya, dengan menambah luasan lahan perkebunan sawit yang dimiliki oleh BUMN, khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, mengatakan, jika BUMN yang mendominasi kepemilikan perkebunan sawit, maka pemerintah pun akan lebih memiliki daya tawar dalam menentukan harga. Hal itu tentunya juga berdampak pada harga minyak goreng sebagai salah satu produk turunan yang belakangan mengalami masalah akibat lonjakan harga.

Sahat mengungkapan pada era 1990-an, kepemilikan kebun sawit PTPN mencapai 68 persen dari total kebun. Namun, saat itu penambahan kepemilikan lahan distop oleh pemerintah dan swasta yang terus berkembang.

Hingga saat ini, Sahat menjelaskan, total kepemilikan lahan milik swasta terus melejit atau sekitar 60 persen dari total luas kebun 16,3 juta hektare.

"Jadi PTPN harus diperkuat, kalau minimal dia (misalnya) punya 2 juta hektare, dia bisa punya 10 juta ton produksi sawit per tahun. Itu bisa dalam satu komando menentukan harga, bukan swasta," kata Sahat.

Lebih lanjut, Sahat mengungkapkan ketergantungan Indonesia kepada harga internasional meski menjadi produsen terbesar di dunia pun bukan tanpa alasan. Pasalnya, pasar domestik saat ini baru menyerap sekitar 36 persen dari rata-rata produksi sawit setiap tahunnya.

Adapun sisanya dibeli oleh pasar luar negeri sehingga mau tak mau, industri sawit mengikuti harga pasar global. "Saya memimpikan, kalaulah republik ini punya konsep yang jelas tentang awitnya, harus membuat 65 persen produksi kita ada di domestik sehingga kita tidak tergantung ekspor," kata Sahat.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement