Jumat 08 Apr 2022 07:10 WIB

Ratusan Mahasiswa Boikot Google dan Amazon karena Dukung Israel

Mahasiswa minta Amazon dan Google agar berhenti ambil untung dari apartheid Israel.

Rep: Alkhaledi kurnialam/ Red: Esthi Maharani
Logo Amazon muncul di Douai, Prancis utara pada tanggal 16 April 2020. Pengecer online secara ideal diposisikan untuk menyediakan buku, tidak hanya untuk kenyamanan tetapi untuk keamanan, selama pandemi.
Foto: AP Photo/Michel Spingler, File
Logo Amazon muncul di Douai, Prancis utara pada tanggal 16 April 2020. Pengecer online secara ideal diposisikan untuk menyediakan buku, tidak hanya untuk kenyamanan tetapi untuk keamanan, selama pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Lebih dari 550 mahasiswa telah berjanji untuk menolak pekerjaan atau magang di Amazon dan Google sampai raksasa teknologi itu mengakhiri kontrak dengan pemerintah dan militer Israel. Ikrar janji mahasiswa itu dibuat oleh kampanye 'No Tech for Apartheid' yang berusaha menekan perusahaan agar berhenti mengambil untung dari apartheid Israel.

Dilansir dari The New Arab, Kamis (7/4/2022), kampanye global itu dijalankan oleh kelompok Jewish Voice for Peace dan MPower Change.

Sebelumnya, Amazon dan Google menandatangani perjanjian senilai lebih dari Rp 14 triliun yang dikenal sebagai 'Project Nimbus' pada Mei tahun lalu. Kontrak itu untuk menyediakan teknologi cloud kepada pemerintah dan militer Israel.

“Warga Palestina sudah dirugikan oleh pengawasan dan kekerasan Israel. [Dengan] menyediakan teknologi canggih mereka kepada pemerintah dan militer pendudukan Israel, Amazon dan Google membantu membuat apartheid Israel lebih efisien, lebih keras, dan bahkan lebih mematikan bagi warga Palestina," tulis ikrar mahasiswa.

"Sampai Amazon dan eksekutif Google memilih untuk berada di sisi kanan sejarah dan memutuskan kontrak, kami berjanji untuk tidak mengambil pekerjaan atau magang di Google atau Amazon. Teknologi harus digunakan untuk menyatukan orang, bukan memungkinkan apartheid dan pembersihan etnis,"tambahnya.

Kampanye tersebut menyerukan mahasiswa dari universitas di seluruh dunia untuk bergabung dengan karyawan Google dan Amazon sebagai protes atas kontrak mereka dengan militer Israel.

Oktober lalu, 90 karyawan Google dan 300 karyawan Amazon berbicara menentang kesepakatan itu dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh The Guardian dan menuntut agar majikan mereka memutuskan semua hubungan dengan militer Israel.

"Atasan kami menandatangani kontrak yang disebut Proyek Nimbus untuk menjual teknologi berbahaya kepada militer dan pemerintah Israel. Teknologi ini memungkinkan pengawasan lebih lanjut dan pengumpulan data yang tidak sah tentang warga Palestina, dan memfasilitasi perluasan permukiman ilegal Israel di tanah Palestina," tulis para karyawan.

Awal bulan ini, lebih dari 500 pekerja Google juga menandatangani petisi yang mendukung seorang rekan Yahudi yang mengklaim bahwa dia dikeluarkan dari perannya karena memprotes Project Nimbus. Dia menuduh raksasa internet itu membalas secara tidak adil karena aktivitas pro-Palestinanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement