REPUBLIKA.CO.ID, — Perang Salib merupakan serangkaian pertempuran yang terjadi secara periodik antara 1095 dan 1291 Masehi. Palagan yang memakan waktu nyaris dua abad itu dilatari ambisi para pemimpin agama dan politik Kristen Eropa Barat. Mereka berhasrat merebut Baitul Maqdis atau Yerusalem dari tangan Muslimin.
Pada periode Perang Salib, dunia Islam lebih unggul dalam hal peradaban. Bahkan, bayang-bayang dari masa keemasan masih nyata.
Semestinya, Muslimin dapat segera membendung serangan dari Eropa yang saat itu masih dicengkeram masa kegelapan. Namun, faktanya Baitul Maqdis jatuh ke tangan agresor pada 1099.
Fenomena yang dihadirkan Pasukan Salib membuka mata mereka tentang perangai barbar yang datang dari luar dunia Islam. Mereka menyaksikan dengan sedih, bagaimana Salibis tidak beretika dalam melancarkan perang
Puluhan ribu orang Islam terbantai. Bahkan, beberapa wilayah Muslim di Syam lepas sehingga berdirilah kerajaan-kerajaan Kristen Latin di sana selama beberapa dekade.
Apa yang menyebabkan daulah dengan peradaban yang tinggi kalah dalam melawan serangan bangsa yang terbelakang secara budaya?
Seorang ulama Syekh Ali al-Sulami (1039-1106) mendedah jawabannya dalam karyanya yang berjudul Kitab al-Jihad. Dalam buku tersebut, alim bermazhab Syafii itu melihat bahwa umat Islam diserang saat lengah dan lemah.
Kelengahan terjadi karena Muslimin terlalu larut dalam konflik politik saat itu. Pada tahap awal Perang Salib, para penguasa Muslim di Syam juga menunjukkan mental apatis dan kompromistis.
Bukannya melawan, beberapa dari mereka malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, orang-orang Frank yakni Salibis menunjukkan semangat tempur dan fanatikus keagamaan yang tinggi. Balatentara musuh ini sangat berambisi dalam mencapai tujuan, yaitu merebut Baitul Maqdis seutuhnya.
Kaum penjajah dari Eropa Barat ini terkesan datang bukan untuk merampas suatu wilayah, lalu memerintah dan menarik pajak dari seluruh masyarakat lokal.
Alih-alih begitu, mereka justru lebih suka mendirikan koloni di wilayah taklukannya setelah membantai semua orang setempat yang berlainan iman dengannya. Dapat disimpulkan, tentara Salibis dalam perspektif sejarawan Muslim adalah gerombolan ekstremis.
Dalam Kitab al-Jihad, al-Sulami menyajikan strategi perjuangan untuk umat Islam. Pertama, menurut dia, kaum Muslimin perlu terlebih dahulu memperbaiki moral.