Sabtu 09 Apr 2022 10:00 WIB

Indonesia Membutuhkan Dukungan Global untuk Mempercepat Penurunan Emisi

Pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan untuk menuju NZE.

Suasana dan kondisi udara di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemerintah membutuhkan dukungan dunia internasional untuk mewujudkan komitmen target penurunan emisi maupun net zero emission/NZE (netralitas karbon) pada 2060.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Suasana dan kondisi udara di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemerintah membutuhkan dukungan dunia internasional untuk mewujudkan komitmen target penurunan emisi maupun net zero emission/NZE (netralitas karbon) pada 2060.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah membutuhkan dukungan dunia internasional untuk mewujudkan komitmen target penurunan emisi maupun net zero emission/NZE (netralitas karbon) pada 2060. Hal itu sesuai dengan COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021. "Dukungan global akan mempercepat pencapaian target penurunan emisi," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, dalam webinar IDE Katadata 2022, dengan tema "Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery", Jumat (8/4/2022).

photo
Webinar IDE Katadata 2022, dengan tema Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery, Jumat (8/4/2022). - (Dok. web)

Dadan melanjutkan, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan untuk menuju NZE. Pertama mengembangkan energi terbarukan secara masif dengan sumber tersebar, bervariasi, dan dalam jumlah besar. Dalam catatan Kementerian Energi, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.700 Gigawatt (GW).

Baca Juga

Kebijakan kedua berupa pengurangan penggunaan energi fosil secara bertahap. Ketiga, mendorong penggunaan elektrifikasi baik untuk kendaraan bermotor maupun peralatan rumah tangga, serta penerapan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Pemerintah telah menyampaikan komitmen pada 2060 nanti seluruh kebutuhan listrik akan dipenuhi dari energi terbarukan. 

Berdasarkan perhitungan Kementerian Energi, seluruh operasi pembangkit PLTU akan berakhir pada 2056 dan kebutuhan kapasitas pembangkit EBT pada 2060 sebesar 587 GW. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi sangat besar, sekitar USS 1.042 miliar hingga 2060. Sehingga, kata Dadan, dibutuhkan peran global untuk mendukung penurunan emisi di Indonesia. 

Dadan memaparkan, dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah menerbitkan Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU ini akan menerapkan pajak karbon pada PLTU Batubara mulai 1 Juli 2022 dengan mekanisme cap  tax. Pajak karbon akan dikenakan kepada PLTU yang melampaui ambang batas emisi yang ditetapkan.

Menurut Dadan, bila pajak karbon sudah diterapkan, maka penerimaan dari pajak karbon diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberi dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial. 

"Kebijakan pajak karbon ini merupakan paket kebijakan komprehensif ungtuk pengurangan emisi dan sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi hijau atau yang berkelanjutan," ujar dia.

Senior Associate, Lead Energy Taxation, International Institute for Sustainable Development (IISD), Tara Laan, mengatakan penerapan pajak karbon akan memberikan sinyal kepada para investor soal komitmen kebijakan iklim Pemerintah. Penerapan pajak karbon juga akan mendorong perusahaan untuk beralih ke teknologi energi yang lebih bersih. 

Bagi perusahaan pembiayaan, pengenaan pajak karbon terhadap penggunaan energi fosil akan menjadikan pemberian kredit di sektor ini menjadi lebih berisiko dan kurang menguntungkan di masa depan. 

Sebagai sumber pendapatan baru bagi pemerintah, menurut Tara, pajak karbon sendiri bisa dipakai untuk membiayai rupa-rupa kebijakan transisi energi. Salah satunya untuk membuat harga energi tetap terjangkau. 

Ada pelbagai skema penyaluran 'subsidi' untuk membuat harga energi tetap terjangkau, terutama bagi kelompok ekonomi rentan atau miskin, misalnya melalui bantuan tunai atau pengurangan pajak penghasilan.  Pendapatan dari pajak karbon juga bisa dimanfaatkan untuk investasi infrastruktur energi bersih.

Sementara itu Deputy Head, Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action of Germany, Malin Ahlberg menjelaskan program pajak karbon di Jerman. Menurutnya, Jerman dan Uni Eropa tidak memiliki pajak karbon yang spesifik. 

Jerman menerapkan skema pajak karbon untuk emisi sektor transportasi dan pemanas pada bangunan atau rumah tangga yang efektif berlaku pada 2021.

Kedua skema itu meliputi lebih dari 80 persen emisi gas rumah kaca di Jerman.

Kebijakan pajak karbon antarnegara memang tak sama. Ekonom senior di National Treasury of South Africa, Memory Machingambi, mengatakan tak ada kebijakan yang bisa berlaku sama di semua tempat. "No one size fits all," kata Memory. 

Namun menurut dia, pajak karbon tetap merupakan mekanisme dan kebijakan yang efektif untuk mengubah 'perilaku' bisnis maupun konsumen dalam penggunaan energi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement