REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan, negaranya akan melanjutkan kegiatan pengembangan nuklir. Hal itu karena pembicaraan tentang pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) terhenti.
“Pengetahuan dan teknologi kita di bidang nuklir tidak bisa dibalik. Penelitian (lanjutan) Iran di bidang nuklir damai tidak akan bergantung pada tuntutan atau sudut pandang orang lain,” kata Raisi saat berbicara dalam upacara peringatan hari nasional teknologi Iran, Sabtu (9/4).
Dalam upacara tersebut, Iran menunjukkan prestasi nuklir sipil barunya, termasuk beberapa isotop medis, pestisida pertanian, peralatan detoksifikasi, dan material bahan bakar nuklir. Iran memang telah lama menegaskan bahwa program nuklirnya memiliki tujuan damai, seperti menghasilkan tenaga listrik dan isotop medis.
Kepala Organisasi Energi Atom Iran Mohammad Eslami mengatakan, negaranya akan segera mengejar pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru dengan kapasitas 360 megawatt. Proyek itu bakal berlokasi di dekat kota Darkhovin di Provinsi Khuzestan.
Saat ini Iran memiliki satu pembangkit listrik tenaga nuklir yang terletak di kota pelabuhan Bushehr. Beroperasi sejak 2011, pembangkit tersebut mempunyai kapasitas 1.000 megawatt. Iran diketahui tengah terlibat negosiasi untuk membangkitkan kembali JCPOA. Namun pembicaraan yang sudah berlangsung sejak April 2021 di Jenewa, Swiss, itu terhenti.
JCPOA terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.