REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Ukraina siap untuk melakukan pertempuran sengit dengan pasukan Rusia yang berkumpul di timur negara itu. Pasukan Rusia telah menarik diri dari wilayah di sekitar Kiev untuk fokus membangun strategi baru di Ukraina timur.
"Ini akan menjadi pertempuran yang sulit, kami percaya pada pertarungan ini dan kemenangan kami. Kami siap untuk berjuang secara bersamaan dan mencari cara diplomatik untuk mengakhiri perang ini," kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, dikutip Ahad (10/4/2022).
Negosiator Ukraina Mykhailo Podolyak mengatakan Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak akan bertemu hingga pasukan Ukraina mengalahkan Rusia di wilayah timur. Kemenangan ini akan memperkuat posisi Ukraina dalam negosiasi.
"Kami membayar harga yang sangat tinggi. Tetapi Rusia harus menyingkirkan ilusi kekaisarannya," ujar Podolyak, menurut kantor berita Interfax Ukraina.
Sirene serangan udara terdengar di kota-kota di timur Ukraina, yang telah menjadi fokus aksi militer Rusia setelah menarik diri dari sekitar Kiev. Pejabat Ukraina telah mendesak warga sipil di wilayah timur untuk melarikan diri. Pada Jumat (8/4/2022) para pejabat mengatakan, lebih dari 50 orang tewas dalam serangan rudal di sebuah stasiun kereta api di kota Kramatorsk di wilayah Donetsk.
Rusia mulai melancarkan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari. Operasi militer ini telah memaksa jutaan warga Ukraina melarikan diri dan mengungsi ke Eropa. Beberapa kota yang menjadi medan perang telah berubah menjadi kota mati dengan puing-puing bangunan yang berserakan.
"Kami tidak akan pernah melupakan semua yang kami lihat di sini, ini akan tetap bersama kami sepanjang hidup kami," kata seorang polisi komunitas, Bohdan Zubchuk.
Intelijen militer Inggris mengatakan, mundurnya Rusia dari wilayah tersebut mengungkapkan penargetan warga sipil yang "tidak proporsional". Sementara Rusia membantah menargetkan warga sipil dalam operasinya. Rusia mengatakan, operasi militer tersebut bertujuan untuk demiliterisasi dan denazifikasi di Ukraina. Negara-negara Barat dan Ukraina telah menolak alasan ini sebagai dalih tak berdasar untuk perang, dilansir dari Reuters.