REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Secara normatif atau tatanan norma perilaku ideal, ada beberapa konsep ideal yang ditawarkan Alquran yaitu melalui Al Hujurat 11-13, Al Baqarah 62, Al Maidah 69, Al Mumtahanah, dan Al An'am 108.
Semua ayat itu mendorong perilaku mulia supaya saling kenal-mengenal. Tidak saling merendahkan, menertawakan dan mengejek, menghindari buruk sangka, tidak mencari-cari keburukan pengikut agama lain, serta tidak saling menggunjingkan.
"Ayat-ayat tadi menganjurkan kita untuk selalu berbuat baik dan berlaku adil untuk semua pengikut agama dunia," kata cendekiawan Muslim, Prof Amin Abdullah, dalam Pengajian Ramadhan yang digelar di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (5/4).
Ia menjelaskan berbuat baik dalam tataran historisitas atau realitas atau praktik lapangan, banyak hal-hal tercela yang dipraktikkan umat beragama, termasuk pada era disrupsi atau revolusi teknologi informasi (TI).
Hal ini bisa disaksikan dalam kehidupan kita seperti masih adanya ujaran kebencian hingga hoaks, karahiyatul ghair atau membenci dan tidak suka kepada kelompok lain, rafdhu ghair atau menolak kehadiran orang lain yang berbeda. Lalu penyakit korupsi, intoleran, perundungan, sampai kekerasan seksual.
"Umat Islam perlu memahami realitas keragaman merupakan sunnatullah. Tidak ada satu manusia, kelompok, mazhab, agama, atau organisasi manapun yang bisa mewakili berjuta atau bermiliar manusia yang terbagi menurut keragaman-keragaman yang ada di dunia ini," kata Amin.
Untuk sikapi realitas keragaman, tidak ada cara lain selain memahami realitas, menghormati realitas, terlibat dalam realitas, mengelola menjadi kekuatan. Selain itu, bisa saling ketergantungan dan kerja sama dalam relasi sosial.
Selain itu, Amin menawarkan supaya umat Islam mau membuka jalan baru literasi keagamaan yang dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, mengembangkan fresh ijtihad, dan kedua menyempurnakan metode dan pendekatan agama Islam yang ada.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan bayani, burhani, dan irfani. Dalam rangka pengembangan metode dan pendekatan religiusitas mencerahkan. Ia menawarkan lima jalan. Pertama, membedakan agama dan pemahaman atau penafsiran keagamaan.
Sebab, agama itu sakral, suci, dan absolut. Sedangkan, pemahaman dan penafsiran agama atau keislaman merupakan profan, duniawi, dan relatif. Kedua, pendekatan sejarah atau kesadaran waktu dipahami dalam lintas waktu, kawasan, pendekatan.
Ketiga, memperluas wawasan atau perspektif teoritik. Misalnya, maqasid syariah, social science, nilai-nilai universal kemanusiaan, filsafat kritis dan pendekatan yang multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin.
Keempat, keluar dari stagnasi metodologi monodisiplin yang menyumbang kuatnya kesewenangan dalam menafsirkan nash atau teks. Multi, inter, transdisiplin ilmu pengetahuan yang bertali-temali membuka cakrawala pemahaman luas dalam beragama.
"Seorang spesialis yang tidak terhubung dengan disiplin ilmu lain akan mengalami keterasingan, krisis dan ketidakberdayaan. Kelima, pembaharuan metode pemahaman agama Islam atau al tajdid al manhaji melalui multi, inter, transdisiplin," ujar Amin.
Kerangka rujukan
Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar menambahkan, agama itu sebagai kerangka rujukan perilaku merupakan apa yang disyariatkan Allah. Dengan perantaraan nabi-nabi-Nya berupa perintah dan larangan sebagai petunjuk manusia.
Sedangkan, religiusitas dapat didefinisi sebagai pengalaman imani yang terungkap dalam bentuk amal saleh yang dikerangkakan syariat dan dijiwai Islam dan ihsan. Pengalaman imani mengandung unsur kesadaran tentang keberhadapan dengan Allah.
Kesadaran Ilahiah itu tidak cukup tinggal sebagai kesadaran, memiliki kekuatan mendorong lahir ke luar atau diungkap. Ini yang membedakannya dengan pengetahuan lain karena bersifat mendalam, didasari pengetahuan, murni, bersifat menyatukan.
Mencakup manusia sebagai mahluk ruhani dan manusia sebagai mahluk jasmani. Lalu, ungkapan itu dalam agama Islam merupakan amal saleh, tapi pengungkapannya itu dikerangkakan sangat ketat atau kita harus menyesuaikan petunjuk sedemikan rupa.
"Jadi, bukan sekadar dirasakan dalam hati, diungkapkan atau diekspresikan dalam amal saleh," kata Syamsul.
Ungkapan amal saleh itu tercermin dalam tiga aspek yaitu dalam pikiran, dalam tindakan dan dalam hidup bersama. Sedangkan, landasan religiusitas itu kebajikan kalbu atau ihsan, rasionalitas, perbuatan kebajikan untuk kemaslahatan semua.
Maka itu, bagi Muhammadiyah keterlibatan dalam kehidupan dunia merupakan suatu keniscayaan dan objek dari amal saleh yang luas sekali. Karenanya, manusia harus menyadari tanggung jawab dalam rangka membangun alam demi mewujudkan amal saleh. "Ini akan menentukan nilai kita di akhirat nanti," ujar Syamsul.