Selasa 12 Apr 2022 09:19 WIB

IMF Cari Mekanisme Baru untuk Cegah Negara Miskin Gagal Bayar Utang

Sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah sudah kesulitan bayar utang

Red: Nur Aini
IMF tutup kantor pusatnya di Washington DC, AS, sampai batas waktu tak ditentukan (Foto: ilustrasi bisnis)
Foto: Flickr
IMF tutup kantor pusatnya di Washington DC, AS, sampai batas waktu tak ditentukan (Foto: ilustrasi bisnis)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dana Moneter Internasional (IMF), Senin (11/4/2022) menyatakan harga pangan dan energi global yang meningkat tajam akibat perang di Ukraina memukul negara-negara miskin. Menurut lembaga itu, mekanisme yang lebih baik untuk mengatasi tekanan utang negara diperlukan untuk mencegah gagal bayar atau default.

"Perang di Ukraina menambah risiko pada tingkat pinjaman publik yang belum pernah terjadi sebelumnya, sementara pandemi masih membebani banyak anggaran pemerintah," tulis Direktur Departemen Urusan Fiskal IMF Vitor Gaspar dan Kepala Strategi IMF Ceyla Pazarbasioglu dalam sebuah blog baru.

Baca Juga

"Dengan meningkatnya risiko utang negara dan kendala keuangan kembali menjadi pusat perhatian kebijakan, pendekatan kooperatif global diperlukan untuk mencapai penyelesaian masalah utang yang tertib dan mencegah default yang tidak perlu."

Lonjakan harga pangan dan energi sangat memukul negara-negara berpenghasilan rendah, dan mereka mungkin membutuhkan lebih banyak hibah dan pembiayaan yang sangat lunak.

Negara-negara harus melakukan reformasi untuk meningkatkan transparansi utang dan memperkuat kebijakan pengelolaan utang untuk mengurangi risiko. Sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam, atau berisiko, kesulitan utang, kata para penulis.

Naiknya suku bunga di negara-negara ekonomi utama dapat menyebabkan melebarnya spread untuk negara-negara dengan fundamental yang lebih lemah, sehingga lebih mahal bagi mereka untuk meminjam.

Krisis kredit diperburuk oleh penurunan pinjaman luar negeri dari China, yang bergulat dengan masalah solvabilitas di sektor real-estat, karantina Covid-19 dan masalah dengan pinjaman yang ada ke negara-negara berkembang, kata mereka.

Tindakan yang diambil oleh ekonomi-ekonomi utama tidak cukup. Mereka, mencatat pembekuan pembayaran utang bilateral resmi yang diadopsi pada awal pandemi telah berakhir, dan tidak ada restrukturisasi yang telah disepakati di bawah kerangka kerja yang ditetapkan oleh Kelompok 20 (G20). Pilihan diperlukan untuk lebih banyak negara, yang sekarang belum memenuhi syarat untuk keringanan utang.

"Penyelewengan akan memperbesar biaya dan risiko bagi debitur, kreditur dan, lebih luas lagi, stabilitas dan kemakmuran global," tulis mereka. "Pada akhirnya, dampaknya akan paling tajam dirasakan oleh rumah tangga yang paling tidak mampu."

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement