Regulasi BPA segera Terbit, BPOM Sesalkan Industri Berpandangan Salah
Red: Fernan Rahadi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito. | Foto: NOVA WAHYUDI/ANTARA FOTO
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Penny K Lukito, menyesalkan produsen air kemasan yang keras kepala menentang rencana pelabelan risiko Bisfenol A atau BPA, bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan, pada galon guna ulang meski dengan dasar pemahaman yang salah.
"Memang ada beberapa pihak, ini adalah industri-industri tertentu, yang merasa akan dirugikan padahal dengan pandangan yang salah," katanya dalam sebuah rapat di DPR pekan lalu.
Menurut Penny, regulasi pelabelan risiko BPA tersebut sangat penting untuk kesehatan publik dan karena itulah BPOM berkomitmen memperjuangkan pengesahannya.
"Draf peraturan pelabelan BPA itu sebenarnya sudah selesai harmonisasi di Kementerian Hukum (Kemenkumham-Red), dan kami juga sudah menulis surat ke Presiden Joko Widodo, melalui Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara, meminta agar draf tersebut segera difinalkan," katanya menjawab pertanyaan anggota DPR yang cemas rancangan peraturan tersebut kandas akibat lobi-lobi gelap sejumlah pihak.
Penny bilang, sembari menunggu pengesahan, BPOM segera melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terkait potensi bahaya BPA pada galon guna ulang. "Kegiatan itu akan paralel dengan proses pengesahannya," katanya.
Dalam rapat di Senayan pada 4 April itu, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ratu Ngadu Bonu Wulla, mendesak BPOM segera menerbitkan regulasi pelabelan BPA pada semua kemasan pangan, termasuk pada air minum kemasan. Dia menyitir sebuah hasil penelitian terkait risiko BPA pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat.
"Penelitian mengatakan bahwa kelompok rentan, yakni bayi usia 6-12 bulan, berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun. Artinya apa, pelabelan sudah mendesak dan tepat supaya bayi, balita dan janin tidak mengkonsumsi air galon guna ulang," katanya.
Ratu Ngadu menjelaskan residu BPA pada galon guna ulang bisa berpindah dari kemasan ke air akibat sejumlah faktor, termasuk paparan sinar matahari. "Semakin tinggi suhu dan lama durasi kontak maka semakin banyak jumlah BPA yang dapat mencemari makanan atau minuman," katanya.
Yang mengkhawatirkan, lanjutnya, BPA yang melebihi ambang batas memiliki efek samping buruk untuk tubuh jika sampai termakan atau terminum dari kemasan yang digunakan.
"Efek samping bisa muncul adalah peningkatan risiko penyakit jantung, kanker, kelainan organ hati, diabetes dan gangguan otak serta perilaku pada anak kecil," katanya.
Hasil uji post-market BPOM pada Januari 2022 atas level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan". Ini peringatan pertama BPOM setelah lima tahun berturut-turut sebelumnya lembaga menyatakan migrasi BPA pada galon guna ulang masih di level yang aman.
Menurut Ratu Ngadu, regulasi pelabelan BPA penting untuk memastikan mutu dan keamanan galon yang beredar luas di masyarakat. Regulasi serupa, katanya, bisa meningkatkan kesadaran pelaku usaha atas pentingnya informasi yang akurat dan lengkap dari produk pangan serta untuk memproduksi pangan yang berkualitas, aman dikonsumsi dan mengikuti standar yang berlaku.
Lebih jauh, dia meminta BPOM mewaspadai manuver sejumlah pihak yang mungkin berupaya menjegal lahirnya peraturan pelabelan risiko BPA. "Pihak-pihak tersebut sejatinya adalah kelompok yang lebih mementingkan keuntungan semata tanpa memikirkan dampak kesehatan masyarakat," katanya.
Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan serta organisasi lobi industri air kemasan termasuk yang vokal menyatakan penentangan terbuka atas rencana pelabelan risiko BPA yang digulirkan BPOM. Pejabat asosiasi kerap menggambarkan inisiatif tersebut sebagai vonis mati atas industri yang sebagian besar produknya menggunakan galon kemasan plastik keras polikarbonat. Menurut asosiasi, bila pelabelan sampai disahkan, publik bakal beralih ke galon dengan kemasan plastik lunak yang bebas BPA.
Namun Ratu Ngadu menepis argumen itu. Menurutnya, pelabelan risiko BPA tidak akan berpengaruh pada pasar. Dia mencontohkan penjualan rokok yang telah melejit meski pemerintah mewajibkan pemasangan label bahaya merokok di setiap kemasan yang beredar di pasar. "Yang terpenting adalah negara harus hadir untuk memberikan edukasi dan mengingatkan pada masyarakat terkait bahaya BPA," katanya.
Draf peraturan BPOM tentang pelabelan risiko BPA antara lain mengharuskan produsen galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat memasang label "Berpotensi Mengandung BPA" terhitung tiga tahun sejak peraturan disahkan. Adapun produsen yang menggunakan galon dengan kemasan selain polikarbonat, diperbolehkan memasang label "Bebas BPA"