REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Arif Fahrudin, mengatakan, demonstrasi telah dijamin keabsahannya oleh undang-undang sebagai bentuk jaminan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut dapat dimaklumi sebagai akumulasi ekspresi rakyat yang menuntut agar pemerintah bekerja lebih keras dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Namun, demonstrasi pada 11 April 2022 itu dicoreng oleh tindak kekerasan dan penganiayaan.
Kiai Arif mengatakan, dengan adanya desas-desus dan intrik wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode dan pengunduran Pemilu 2024. Jadilah aksi demonstrasi 11 April 2022 semakin membuncahkan pusaran isu tersebut.
Menurutnya, demonstrasi 11 April 2022 sebagai ekspresi tuntutan sebagian rakyat sebenarnya bisa dimaklumi secara psikologis dan sosiologis.
"Selama masa pandemi Covid-19, sebagian besar rakyat terimbas kesusahan ekonomi,
banyak kehilangan pekerjaan, hampir semua harga kebutuhan dasar naik, rakyat kecil banyak terjepit, terakhir minyak goreng hilang di pasaran," kata Kiai Arif kepada Republika, Selasa (12/4/2022).
Ia menambahkan, ditambah ditindih intrik politik para brutus berupa wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Pemilu 2024 diwacanakan diundur. Maka jadilah demonstrasi 11 April 2022 kemarin sebuah eskalasi kebuncahan psikologis dan hoaks politik.
"Walhasil, demonstrasi pun menjadi ajang penumpahan kericuhan di beberapa tempat, terjadi kekerasan fisik. Bahkan, seorang aparat polisi di Sulawesi wafat saat bertugas menjaga kondusifitas unjuk rasa," ujarnya.
Kiai Arif mengatakan, di Jakarta, demonstrasi dinodai oleh aksi penganiayaan. Ada peserta demonstran yang ditelanjangi, dihardik, dikeroyok, dan dipukuli sampai babak belur. Tujuan baik dari demonstrasi telah dinodai oleh aksi premanisme.
Menurutnya, ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak. Bagi para politisi, jangan pernah mempermainkan konstitusi dan nurani rakyat. Berpikir dan berjalanlah di atas nurani rakyat dan amanat konstitusi.
Wasekjen MUI ini mengingatkan, presiden sudah berkali-kali menyatakan terus berjalan di atas konstitusi. Bagi para demonstran, stop berbuat anarkis atas nama apapun terlebih atas dorongan keblingeran terhadap pemahaman agama berupa menghalalkan tercecernya darah sesama rakyat.
"Jika perbuatan penganiayaan terhadap sesama rakyat atau bahkan sesama Muslim itu nyata terjadi, maka sesungguhnya merekalah pelaku penodaan agama sesungguhnya," tegas Kiai Arif.
Ia mengungkapkan, rasanya malu sebagai seorang Muslim dan sebagai warga negara Indonesia, demonstrasi digelar di tengah kekhusyukan bulan suci Ramadhan namun dicoreng oleh aksi kekerasan dan penganiayaan. Mari tegakkan kerahmatan Islam dengan ucapan dan perilaku yang saling menghormati dan menyayangi sesama, walau terlibat perbedaan setajam apapun karena agama mengharamkan pertumpahan darah dan saling menganiaya.
Kiai Arif mengajak, mari tegakkan hukum dengan cara-cara konstitusional dan menjauhkannya dari anarkisme. Mari hormati bulan suci Ramadhan dari ucapan dan tindakan yang merusak kekhusyukan ibadah di dalamnya.
"Semua pihak dihimbau untuk muhasabah dan mengedepankan dialog dari hati ke hati agar bangsa ini segera dapat menyelesaikan tantangan perekonomian demi kesejahteraan rakyat," ujarnya.