Selasa 12 Apr 2022 21:37 WIB

3 Tingkatan Puasa dan Bagaimana Hidupkan Ramadhan Sepanjang Masa

Puasa Ramadhan merupakan momentum untuk memperbaiki kualitas diri

Red: Nashih Nashrullah
Ramadhan di Khasmir (ilustrasi). Puasa Ramadhan merupakan momentum untuk memperbaiki kualitas diri
Foto: (AP Photo/Mukhtar Khan)
Ramadhan di Khasmir (ilustrasi). Puasa Ramadhan merupakan momentum untuk memperbaiki kualitas diri

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA— Puasa dalam makna hakikat adalah keadaan di mana seorang hamba menahan diri dari melakukan hal-hal yang tidak baik.

Aturan dasar puasa adalah menahan diri dengan tidak makan, minum, dan berhubungan badan dengan istri atau suami di siang hari, kemudian menjadi metode bagaimana umat Islam menahan diri dari sesuatu yang di luar Ramadhan, hal-hal semacam itu dibolehkan.

Baca Juga

Karena itu, Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya bahwa tidak sedikit dari mereka yang berpuasa tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah SWT, kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.

Kaum sufi membagi puasa dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa orang awam, yakni semata-mata hanya menahan diri dari makan minum serta aktivitas seksual di siang hari.

Ketua Umum PP Muhammdiyah, Prof Dr Haedar Nashir, dalam buku bunga rampai "Puasa dan Kejujuran" mengungkapkan bahwa puasa tingkatan ini adalah puasa anak-anak dan merupakan tingkatan paling rendah dari derajat orang berpuasa.

Kedua, adalah puasa yang pelakunya, selain menahan makan, minum, dan hubungan seksual, juga memperhatikan apa yang keluar dari mulut dan apa yang masuk ke dalamnya.

Robert Frager, mursyid tarekat dan profesor psikologi pada "Institute of Transpersonal Psychologi", Kalifornia, dalam bukunya "Psikologi Sufi untuk Transformasi; Hati, Diri dan Jiwa" mengemukakan bahwa jenis kedua ini adalah puasanya para darwis atau orang yang menjadi murid dari syekh sufi.

Puasa jenis ini, membutuhkan tekad yang lebih kuat, kepekaan dan disiplin yang lebih besar daripada yang dibutuhkan pada tingkat puasa pertama.

Pada tingkat ini, kalau seseorang mampu mendisiplinkan diri dari keinginan makan, minum, dan hubungan seksual di siang hari, maka dia juga bisa mendisiplinkan diri untuk tidak mudah marah atau bentuk perilaku lain yang bisa melukai hati atau merugikan orang lain. Hal ini termasuk bagaimana kita mampu menahan pandangan yang tidak baik serta berbagai prasangka atau pikiran yang tidak membawa kebaikan.

Ketiga, adalah puasanya orang-orang suci. Puasa pada tingkatan ini, menurut Frager, adalah menolak diri untuk dikuasai oleh pikiran-pikiran duniawi dan menjadi latihan untuk terus menerus mengingat Tuhan.

Para orang suci ini berpuasa terhadap segala keterikatan atau kemelakatan kepada dunia dan seisinya. Allah SWT juga menempatkan ibadah puasa sebagai hal yang istimewa. 

Allah SWT menegaskan bahwa puasa itu adalah untuk Allah dan Allah yang akan membalas-Nya. Banyak ahli agama memaknai firman ini bahwa puasa terbebas dari sifat riya atau pamer.

Di sisi lain puasa secara tidak langsung juga mengajarkan umat untuk selalu dalam suasana jiwa mengingat Allah. Ketika seseorang sedang berpuasa, kemudian tergoda oleh makanan kesukaan, maka menahan diri karena saat bersamaan ia sedang mengingat Allah SWT.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement