REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan mengabadikan nama ulama kharismatik, KH Abdul Gaffar Ismail, menjadi nama sebuah jalan di sana. Keputusan itu telah melalui persetujuan bersama DPRD serta tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Putra mubaligh kelahiran Sumatra Barat itu, Taufiq Ismail mengaku senang dan bangga dengan pemberian nama jalan tersebut. Anak sulung Kiai Abdul Gaffar yang juga dikenal sebagai sastrawan senior itu berterima kasih kepada publik Kota Pekalongan. Menurut dia, pemberian nama itu merupakan sebuah penghargaan dari masyarakat setempat kepada sang ayahanda.
"Jalan yang berada di depan tempat pengajian beliau (KH Abdul Gaffar Ismail) dahulu dan tempat beliau mengajar selama lebih-kurang 50 tahun di Pekalongan secara resmi dinamai nama beliau. Alhamdulillah," ujar Taufiq Ismail kepada Republika, Rabu (13/4/2022).
KH Abdul Gaffar Ismail lahir di Jambu Air, Bukittinggi, pada 11 Agustus 1911. Di antara para alim ulama Ranah Minang, dirinya seangkatan dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Gurunya, Syekh Ibrahim Musa, pernah belajar pada imam besar Masjid al-Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Istrinya, Siti Nur Muhammad Nur, merupakan kelahiran Pandai Sikek, Padangpanjang. Tinur, demikian sapaannya, juga adalah angkatan pertama Diniyah Putri.
Pasangan suami istri tersebut pada zaman pergerakan dikenal sebagai aktivis muda Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Partai yang terbentuk pada 1930 itu mengusung ideologi modernisme Islam sekaligus nasionalisme. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Bung Karno menaruh simpati besar pada perjuangan PERMI.
Pemerintah kolonial mencurigai PERMI, dan menangkapi aktivisnya. Di antara yang ditangkap adalah Rasuna Said dan Rasimah Ismail (adik Abdul Gaffar Ismail).
Baca juga: KH Abdul Gaffar Ismail, Ulama Lintas Kalangan
Abdul Gaffar dan Tinur tidak luput dari sasaran kolonial. Oleh Belanda, pasangan muda ini diusir dari wilayah Sumatra Barat. Keduanya memilih Pekalongan, kota yang masyhur sebagai pusat industri batik di pantai utara Jawa.
Kaum saudagar Muslim setempat meminta keduanya untuk datang dan mengajarkan Islam kepada masyarakat. Selama setengah abad, Kiai Abdul Gaffar dan istri membimbing umat di sana.
"Bahkan, makam beliau dan istri berada di Pekalongan," ucap penulis kumpulan sajak Tirani dan Benteng itu.