REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Naiknya harga komoditas imbas dari konflik Rusia-Ukraina berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan memicu kenaikan inflasi secara global. Di Amerika Serikat (AS), inflasi bahkan terus bergerak liar bahkan telah melampaui level 7,9 persen pada Februari 2022 menjadi 8,5 persen di bulan Maret.
Kenaikan inflasi ini biasanya juga akan diikuti oleh kebijakan bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan. Bank sentral AS, Federal Reserve, pun telah memberi sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif dan akan dimulai pada tahun ini.
Senior Technical Analyst Henan Putihrai Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, menilai langkah memperketat kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi ini akan berdampak terhadap pasar modal. Jika hal itu terjadi, investor berpotensi mengalihkan investasi ke instrumen yang lebih rendah risiko seperti obligasi, deposito atau bahkan emas.
"Saat seperti ini yang mungkin dikhawatirkan akan membuat minat investor ke stock market jadi berkurang," kata Liza kepada Republika.co.id, Rabu (13/4/2022).
Hal lain yang patut dicermati adalah naiknya harga-harga komoditas yang diimpor oleh Indonesia seperti gandum, ataupun bahan baku CPO dapat menekan profit margin emiten yang bergantung pada impor dan bahan baku terkait. Kondisi ini sudah tampak pada beberapa harga saham emiten sektor consumer yang belum lepas dari tren penurunan.
Meski demikian, menurut Liza, setidaknya ada tiga faktor yang mendorong derasnya dana asing masuk ke pasar saham Indonesia. Pertama, faktor pemulihan ekonomi Indonesia yang dipandang baik. Hal ini juga beriringan dengan penanganan Covid-19 yang menunjukkan perbaikan signifikan sejak kuartal IV 2021.
"Berkat kesuksesan ini, pemerintah Indonesia semakin percaya diri untuk melonggarkan mobilitas masyarakat, sehingga berputarnya roda perekonomian diharapkan semakin cepat langkahnya," kata Liza.
Faktor kedua, eskalasi tensi geopolitik konflik Rusia-Ukraina membuat harga komoditas melesat tajam. Di saat bursa di banyak negara terimbas negatif, Indonesia justru dipandang prospektif karena karakteristik market yang didorong oleh komoditas.
Hasil komoditas Indonesia yang sebagian besar diekspor diprediksi akan kembali jadi penopang surplus neraca perdagangan dan nilai tukar Rupiah.
Selain itu, sanksi-sanksi dari Eropa dan AS terhadap Rusia yang melarang pembelian batubara Rusia membuka harapan para emiten batubara Indonesia.
"Maka tak heran sektor tambang ini volatilitasnya sangat tepat untuk dijadikan sebagai wahana trading atau investasi," kata Liza.
Derasnya aliran modal asing juga ditopang sentimen positif kinerja keuangan sejumlah emiten sepanjang 2021 yang menunjukkan perbaikan cukup signifikan. Terutama emiten di sektor perbankan yang tergolong memiliki kapitalisasi jumbo, serta emiten komoditas khususnya batubara dan kelapa sawit.
"Pada umumnya, performa yang kinclong di tahun 2021 memungkinkan banyak emiten untuk membagikan deviden berjumlah menarik tahun ini. Kenyataan ini menambah alasan diburunya saham-saham Indonesia," kata Liza.
Lebih lanjut, Liza menambahkan, situasi kurang kondusif yang terjadi di Eropa dan AS berpotensi membuat dana asing mencari tempat yang lebih aman. Menurut Liza, kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang cukup aman karena relatif jauh dari konflik tersebut.