Ahad 17 Apr 2022 20:54 WIB

Sarinah, Panggung Karya Indonesia

Sarinah, Panggung Karya Indonesia

Rep: Editor (swa.co.id)/ Red: Editor (swa.co.id)
Pengunjung berfoto dengan latar belakang pelangi saat menanti waktu berbuka puasa di Sky Deck Sarinah, Jakarta, Rabu (6/4/2022). Kawasan tersebut menjadi salah satu destinasi baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya untuk menanti waktu berbuka puasa atau ngabuburit bersama keluarga dan kerabat.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Pengunjung berfoto dengan latar belakang pelangi saat menanti waktu berbuka puasa di Sky Deck Sarinah, Jakarta, Rabu (6/4/2022). Kawasan tersebut menjadi salah satu destinasi baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya untuk menanti waktu berbuka puasa atau ngabuburit bersama keluarga dan kerabat.

Oleh: Dewa Gde Satrya, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

’Wajah baru’ mal pertama di Indonesia, Sarinah, yang telah selesai direnovasi dan dibuka untuk umum pada 21 Maret yang lalu, menumbuhkan harapan akan bertumbuhnya UMKM di pasar modern. Konsep Sarinah yang hanya menghadirkan merk lokal untuk tekstil, ritel dan kuliner, termasuk dari kalangan UMKM, menjadi pelopor di ranah pasar modern yang memberi ’panggung’ bagi UMKM untuk naik kelas. Tidak ada satu pun merk asing di Sarinah baru.

Di Indonesia, menurut Hafsah (2000), Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mengalami permasalahan internal yang meliputi, pertama, rendahnya profesionalisme tenaga pengelola usaha kecil dalam aspek kewirausahaan, manejemen, teknik produksi, pengembangan produk, kualitas kontrol, karena tingkat pendidikan pengusaha rendah. Kedua, keterbatasan permodalan dan kurangnya akses perbankan dan pasar, mengakibatkan lemah dalam struktur kapitalnya. Ketiga, kemampuan penguasaan teknologi yang masih kurang memadai. Sepatutnya hambatan tersebut tereliminasi dengan sendirinya melihat profil kelas menengah baru yang tumbuh dari kalangan pekerja (profesional) di perkotaan.

Maka, keberpihakan pada UMKM dengan memberikan ’panggung khusus’ di Sarinah, merupakan pilihan dan strategi yang rasional. Selain untuk mengatasi tiga persoalan di atas, juga mengingat kontribusi UMKM pada PDB sebesar 61 persen dan menyerap 97 persen total tenaga kerja nasional. Panggung karya Indonesia di Sarinah juga menjadi etalase bagi luaran atau hasil program pemerintah untuk pertumbuhan UMKM melalui Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), dukungan pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan subsidi non-KUR.

Dalam konteks ini, penelitian AC Neilsen beberapa tahun lalu di tiga kota (Jakarta, Bandung dan Surabaya) terhadap 1.068 responden memperlihatkan konsumen Indonesia masih memakai multiple channel. Dalam sebulan, mereka rata-rata berbelanja melalui 4-5 channel, pergi ke pasar tradisional iya, hipermarket, supermarket dan ke minimarket juga iya. Konsumen belanja ke pasar tradisional sekitar dua hari sekali atau 12-13 kali dalam sebulan, terutama untuk membeli barang-barang fresh seperti daging dan sayuran.

Secara frekuensi, pembeli di toko dan pasar tradisional memang lebih unggul daripada pasar modern. Dari 100% pengunjung hipermarket, sebanyak 97% juga pergi ke toko tradisional. Dari 100% pengunjung minimarket, 98% di antaranya berbelanja juga di toko tradisional. Jadi, pengunjung toko tradisional sangat tinggi. Tetapi dari perbandingan spend most money-nya, peningkatan ada di outlet pasar modern. Terdapat 39% responden yang mengaku lebih banyak membelanjakan uang di hipermarket dan supermarket, naik menjadi 44%. Sedangkan di minimarket, hanya 11%, dan naik menjadi 14%. Di toko tradisional, persentasenya tetap, yaitu berkisar di angka 19% (Marketing, Maret 2006, hal. 27).   

Sampel data itu sekiranya relevan dengan keadaan saat ini dan dapat menunjukkan pola konsumsi masyarakat kita secara umum. Peluang bagi UMKM untuk naik kelas di pasar modern mendapat peluang yang nyata di Sarinah. Dampak berikutnya adalah memberi contoh bagi pengelolaan pasar modern yang lain untuk memberi ruang yang lebih luas di mal, tidak hanya di sudut-sudut tertentu, bagi UMKM berkualitas.

Wisata Belanja

Konsep tersebut menjadikan daya tarik Sarinah sebagai destinasi wisata belanja yang memikat. Selain karena sejarahnya, Sarinah menjadi destinasi bagi shopper yang ingin menemukan otentitas produk Indonesia. Karenanya, mudah bagi integrasi antara pariwisata dengan shopping, dalam ilustrasi sederhana ketika berwisata ke Jakarta, kurang pas bila belum membeli oleh-oleh.

Kedekatan pariwisata dengan perdagangan telah lama melekat dalam trilogi tourism-trade-investment. Pariwisata menjadi semacam pintu masuk bagi pertumbuhan perdagangan dan investasi. Seorang wisatawan, misalnya, ketika berminat membeli suvenir atau barang khas dalam perjalanan wisatanya, berarti dia turut berkontribusi bagi perdagangan. Ketika konsumsi pribadi ditingkatkan skalanya sebagai bisnis, misalnya wisatawan tersebut berminat untuk membangun pabrik atau toko di suatu daerah yang pernah dikunjunginya, menumbuhkan investasi.

Jakarta menjadi ikon destinasi wisata belanja di Tanah Air. Even Jakarta Great Sale, misalnya, menunjukkan kolaborasi antar pelaku usaha pariwisata yang mampu mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Pemda mendapat PAD, tenant-tenant mal yang terlibat meraih peningkatan penjualan, citra kota terdongkrak, masyarakat bisa berbelanja dengan harga murah, mendapatkan diskon dan hadiah. Semuanya ikut senang.

Jakarta Great Sale yang dulu dikenal dengan Pesta Diskon Jakarta, biasanya digelar untuk memeriahkan HUT kota Jakarta selama sebulan selama bulan Juni-Juli. Dengan target transaksi triliunan rupiah, even wisata belanja itu diikuti 16 asosiasi. Di antaranya, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia (APGAI), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Asosiasi Rekreasi Keluarga Indonesia (ARKI), Asosiai Indonesia Travel Agent (ASITA), Asosiasi Spa Indonesia (ASPI), PD Pasar Jaya. 

Kemeriahan wisata belanja menandai bertumbuhnya industri hospitality. Lebih-lebih, konsumsi di dalam negeri kalangan masyarakat menengah ke atas sangat dibutuhkan untuk memperkuat destinasi wisata belanja. Kehadiran Sarinah dengan konsep baru diharapkan memperkuat dan memberi warna yang memperkuat karakter dan identitas Indonesia sebagai destinasi wisata belanja. Jika dipadukan dengan Jakarta sebagai destinasi MICE (meeting, incentive, conference, exhibition), maka pre or post MICE event more valuable with shopping. Jika deimkian, Sarinah benar-benar menjadi panggung karya Indonesia, menjadi tuan dan nyonya di negeri sendiri.

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖ وَيَقُوْلُوْنَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَّرَاعِنَا لَيًّاۢ بِاَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِى الدِّيْنِۗ وَلَوْ اَنَّهُمْ قَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَقْوَمَۙ وَلٰكِنْ لَّعَنَهُمُ اللّٰهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًا
(Yaitu) di antara orang Yahudi, yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Dan mereka berkata, “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.” Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah,” sedang (engkau Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. Dan (mereka mengatakan), “Raa‘ina” dengan memutar-balikkan lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, “Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah melaknat mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali.

(QS. An-Nisa' ayat 46)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement