Jumat 15 Apr 2022 18:37 WIB

LP3ES: DPR-Pemerintah Bahas RUU PPP dengan Cara tak Patut

Komitmen pemerintah dan DPR menjalankan putusan MK soal UU Ciptaker dipertanyakan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Peneliti pusat studi hukum dan hak asasi manusia (HAM) Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi (LP3ES) Herlambang P Wiratraman mengatakan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) harus dikritisi publik.
Foto: republika/mgrol100
Ilustrasi. Peneliti pusat studi hukum dan hak asasi manusia (HAM) Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi (LP3ES) Herlambang P Wiratraman mengatakan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) harus dikritisi publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pusat studi hukum dan hak asasi manusia (HAM) Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi (LP3ES) Herlambang P Wiratraman mengatakan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) harus dikritisi publik. Sebab, DPR dan pemerintah membahas revisi undang-undang tersebut secara tak patut.

"Pemerintah dan DPR kembali membahas undang-undang dengan cara yang tidak patut secara formal," ujar Herlambang dalam sebuah diskusi daring, Jumat (15/4/2022).

Baca Juga

Ketidakpatutan tersebut terlihat ketika DPR dan pemerintah tak melakukan pelibatan publik secara luas. Padahal, jika asas keterbukaan kembali tak dilakukan oleh keduanya, revisi UU PPP yang sudah disahkan menjadi undang-undang bisa saja kembali digugat.

"Baik dari sisi pelibatan publik lemah keterbukaannya, mengandalkan keabsahan undang-undang akan terjadi dengan revisi UU PPP. Satu tahap saja tak dipenuhi formalitasnya, undang-undang dapat dibatalkan," ujar Herlambang.

Selain itu, ia mempertanyakan komitmen hukum dari pemerintah dan DPR untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Terutama yang berkaitan dengan perbaikan menyeluruh undang-undang sapu jagat tersebut.

"DPR dan pemerintah juga tidak pernah memberikan kejelasan kepada publik, mengapa perlu omnibus law secara teori dan praktek. Kelemahan selama ini apa dan bagaimana jalan keluar penataan legislasinya," ujar Herlambang.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa Amaliah menolak pengesahan revisi UU PPP menjadi undang-undang. Khususnya yang terkait dengan metode omnibus.

Fraksi PKS menilai bahwa metode omnibus seharusnya bertujuan mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena itu, harus ada sejumlah syarat penggunaan metode tersebut dalam revisi UU PPP agar tetap menjamin adanya kepastian hukum dan meningkatkan kualitas legislasi.

Pertama adalah metode omnibus hanya dapat digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan adanya urgensi tertentu yang melibatkan beberapa peraturan dalam satu topik khusus tertentu atau klaster. Hal ini agar penyusunan peraturan perundangan tersebut fokus hanya berkaitan dengan satu tema spesifik.

Kedua, diperlukannya pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Agar penyusunannya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement