Sabtu 16 Apr 2022 05:04 WIB

Pakar: Metode Omnibus Cenderung Sembunyikan Aspek Penting

Tujuan revisi UU PPP hanya untuk memasukkan metode omnibus demi UU Cipta Kerja.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ilustrasi. Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Ia menilai, tujuan revisi undang-undang tersebut hanya untuk memasukkan metode omnibus demi mengamankan Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja.

"Metode omnibus tidak sederhana, cenderung membingungkan, dan bisa menyesatkan serta cenderung menyembunyikan hal-hal penting, apabila bisa sebesar RUU Cipta Kerja," ujar Bivitri dalam sebuah diskusi daring, Jumat (15/4/2022).

Baca Juga

Panitia kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menyepakati omnibus sebagai salah satu metode pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 64 Ayat 1 revisi UU PPP yang sudah dilakukan pengambilan keputusan tingkat I.

Dalam pasal tersebut, omnibus adalah metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan melakukan tiga hal. Pertama adalah materi muatan baru. Kedua, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama.

Terakhir adalah mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama. Kemudian, menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

"Karena memuat banyak hal, besar potensinya penyusun dan pembahas luput melihat dampak atau implikasi undang-undang dalam praktik," ujar Bivitri.

Ia juga menyampaikan, metode omnibus sesungguhnya sudah ditinggalkan dan tidak disukai di beberapa negara. Salah satunya di negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, di mana politikus di sana tak lagi menghendaki omnibus karena dianggap tidak demokratis.

"Studi IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative) 2020 menunjukkan juga kecenderungan yang sama di Kanada, Inggris, Selandia Baru, dan Jerman," ujar Bivitri.

Diketahui, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR menjadi satu-satunya pihak yang menolak pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi UU PPP, yang merupakan bagian dari perbaikan UU Cipta Kerja. Pasalnya, revisi undang-undang tersebut memuat metode omnibus tak diatur syarat penggunaannya dalam pembentukan perundang-undangan.

"Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan belum dapat menyetujui rancangan undang-undang tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan menjadi undang undang," ujar anggota Baleg DPR Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah..

Ledia mengatakan, Fraksi PKS menilai bahwa metode omnibus seharusnya bertujuan untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Karenanya, harus ada sejumlah syarat penggunaan metode tersebut dalam revisi UU PPP agar tetap menjamin adanya kepastian hukum dan meningkatkan kualitas legislasi. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement