Sabtu 16 Apr 2022 20:55 WIB

Kasus Korban Bunuh Begal Disetop, Kapolda: Bukan Desakan Publik, tapi Kepastian Hukum

Dari gelar perkara memang ada unsur pembunuhan, tapi karena membela terpaksa.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Kapolda NTB Irjen Polisi Djoko Poerwanto memberikan keterangan pers penghentian kasus korban begal jadi tersangka, Amaq Sinta, Sabtu (16/4/2022).
Foto: Polda NTB
Kapolda NTB Irjen Polisi Djoko Poerwanto memberikan keterangan pers penghentian kasus korban begal jadi tersangka, Amaq Sinta, Sabtu (16/4/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Poerwanto mengaku penghentian penyidikan kasus pembunuhan dua begal oleh tersangka Amaq Santi di Lombok Tengah, bukan karena desakan publik. Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), lebih kepada objektivitas hukum dari hasil kesimpulan gelar perkara bersama timnya, dengan sejumlah pakar pidana.

Djoko mengakui, publik memang mendesak agar kasus tersebut dihentikan saja tanpa perlu ke pengadilan. Tetapi, menurut dia, langkah tersebut membutuhkan landasan yang kuat dari kesimpulan proses hukum yang sedang berjalan.

Baca Juga

SP3, dikatakan dia, menjadi pilihan mengingat kasus tersebut, juga mendapatkan atensi serius dari semua lapisan warga untuk disetop.

“(SP3), bukan karena desakan publik. Tapi, kasusnya memang menjadi perhatian publik,” ujar Djoko kepada Republika.co.id, Sabtu (16/4).

Djoko menambahkan, dari hasil gelar perkara bersama, memang ditemukan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka Amaq Sinta. Yaitu berupa pembunuhan yang dilakukan terhadap dua begal, OWP dan PE. Kejadian itu terjadi pada Ahad (10/4), di Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Praya Timur, Lombok Tengah.

Namun Djoko menjelaskan, perbuatan pidana pembunuhan yang dilakukan oleh Amaq Sinta itu, masuk dalam kategori Pasal 49 ayat (1) KUH Pidana. Yaitu, peniadaan pemidanaan atas seseorang yang melakukan tindak pidana, atas pembelaan terpaksa untuk diri sendiri, maupun orang lain.

Aturan itu juga mengatur soal peniadaan pidana atas seseorang yang melakukan tindak pidana untuk pembelaan diri dalam keadaan, dan ancaman, maupun serangan yang membahayakan nyawa.

Amaq Sinta melakukan perlawanan ketika OWP, dan PE beserta dua begal lainnya, berusaha menggarong motor milik pemuda 34 tahun tersebut. Amaq Sinta dalam perlawanannya, menikam OWP dan PE sehingga membuat keduanya tewas di tempat.

“Peristiwa yang dilakukan oleh Amaq Sinta merupakan untuk membela diri, atau pembelaan dengan terpaksa,” ujar Djoko.

Selain objektivitas hukum, dikatakan Djoko, penerbitan SP3 tersebut, juga untuk memberikan rasa keadilan bagi Amaq Sinta, yang sebetulnya dalam kasus ini adalah korban dari tindak kejahatan.

Sebab itu, dikatakan Djoko, SP3 dihentikan, juga atas pertimbangan adanya Pasal 30 dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) nomor 6/2019 tentang proses penyidikan. “Bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi adanya kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, dan rasa keadilan,” begitu terang Djoko.

Dengan penerbitan SP3 kasus tersebut, status Amaq Sita yang semula adalah tersangka dan sempat ditahan di Polres Lombok Tengah, pun kini dipulihkan atas nama hukum.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement