Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru saja mengumumkan kenaikan inflasi tertinggi dalam 30 tahun terakhir ini, dari 7,9 persen pada Februari 2022 menjadi 8,5 persen pada Maret.
Pemerintah China juga sudah mengumumkan inflasi tinggi di sisi produsen. Negara-negara maju lainnya pun mencatat tren yang sama. Sebut saja Uni Eropa dan Jepang.
Pada Maret 2022, negara-negara zona Euro mencatat inflasi tertinggi 7,5 persen. Konflik Rusia-Ukraina menjadi titik sebab kenaikan inflasi ini.
Inflasi tinggi ini pun menjadi perhatian Pemerintah Indonesia terutama Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas nilai tukar.
Jadi, apa sebenarnya Inflasi itu?
Definisi Inflasi
Bank Indonesia menyebutkan definsi inflasi seperti ini: Inflasi merupakan kondisi terjadi kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Jika harga sejumlah barang naik pada waktu tertentu di beberapa tempat, maka bisa dikatakan terjadi inflasi.
Namun, jika kenaikan terjadi pada satu barang, dalam waktu cepat, dan di satu tempat saja, maka itu belum dikatakan sebagai inflasi.
Jadi, kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.
Nah, perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kelompok bahan penyebab Inflasi atau IHK (Indeks Harga Konsumen)
Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:
1. Bahan Makanan.
2. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
3. Perumahan.
4. Sandang.
5. Kesehatan.
6. Pendidikan dan Olahraga.
7. Transportasi dan Komunikasi.
Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).
Pengelompokan Jenis Inflasi di Indonesia
Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi.
Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan-penawaran.
Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang.
Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental.
Komponen inflasi non-inti terdiri dari: Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
Penyebab Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.
Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya.
Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.
Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau forward looking.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP).
Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut.
Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.
Pentingnya Kestabilan Harga
Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah.