REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Ketegangan peraturan pembatasan sosial ketat atau lockdown di Shanghai mengungkapkan perpecahan di antara warga. Antara yang muda dengan tua, warga lokal dan pendatang dan yang paling parah antara warga yang positif dan negatif Covid-19.
Selama lockdown sekitar 25 juta warga Shanghai yang sebagian besar tinggal di blok-blok apartemen membentuk sebuah ikatan komunal baru. Melalui barter atau kelompok membeli kebutuhan pokok dan pos-pos berbagi makanan.
Namun setelah empat pekan belum ada tanda-tanda lockdown akan segera berakhir. Di balik gedung-gedung apartemen yang tinggi menjulang rasa frustrasi warga semakin menggunung dan kerap menjadi bahan perbincangan di grup WeChat.
Salah satu contohnya konflik antar warga pecah ketika seorang perempuan dibawa ke pusat karantina tapi hasil tesnya negatif. Ia menuduh tetangganya melaporkannya ke pihak berwenang.
Biasanya hasil tes tidak dibagikan dan kasus positif diumumkan melalui grup WeChat. Pihak berwenang China mencoba untuk menahan penyebaran virus korona paling meluas di negara itu sejak pertama kali diidentifikasi di Wuhan pada akhir 2019 lalu.
Salah seorang warga Amerika Serikat (AS) mengatakan ia diberitahu akan dikirim ke pusat karantina setelah hasil tesnya tidak pasti, ia kembali positif pekan lalu. Kasus ini menimbulkan kepanikan. Tiga sampelnya diambil di karantina tapi tes di rumah negatif.
"Di grup kirim pesan, mereka mengatakan hal-hal seperti 'oh apa yang positif masih di sana, apa orang yang positif masih di sana?" kata perempuan yang menolak memberikan namanya itu, Senin (18/4/2022).
Warga orang lanjut usia yang lebih rentan pada Covid-19 juga lebih mungkin dibawa keluar dari rumahnya. "Karena media berlebihan mengenai penyakit, dan karena sistem imun orang tua lebih lemah, mereka lebih takut pada virus dibandingkan anak-anak muda," kata seorang warga.
Seorang warga asing yang hanya menyebutkan namanya Alexy curiga salah satu tetangganya positif Covid-19. Sebab hasil tesnya gagal diunggah di aplikasi kesehatan.