REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menjelaskan, tak ada dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), dalam rangka perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Jangan sampai revisi tersebut hanya menjadi alat untuk melegitimasi undang-undang sapu jagat itu.
"Pemerintah untuk tidak menjadikan revisi UU PPP sebagai alat untuk melegitimasi UU Cipta Kerja. Karena berdasarkan putusan MK, pemerintah seharusnya menyesuaikan UU Cipta Kerja dengan ketentuan dalam UU PPP yang saat ini berlaku dan membahas ulang substansinya," tulis PSHK lewat keterangan tertulisnya, Senin (18/4/2022).
Jika tujuannya hanya untuk melegitimasi UU Cipta Kerja, revisi UU PPP tak dapat memperbaiki tata kelola peraturan perundang-undangan secara menyeluruh. Sebab, tujuan utamanya hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek.
"Selain itu, ketentuan tentang metode omnibus dalam revisi UU PPP juga tidak dapat digunakan sebagai justifikasi telah dilakukannya evaluasi dan perbaikan atas UU Cipta Kerja, sebagaimana diamanatkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020," tulis PSHK.
Proses pembahasan revisi UU PPP juga dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi publik. Pembahasan juga dilakukan dengan terburu-buru, yaitu dengan mengadakan pembahasan di luar jam kerja.
Ruang partisipasi publik dibuka terakhir kalinya pada masa persiapan revisi UU PPP. Draf yang tercantum pada situs resmi DPR per 2 Februari 2022 masih sangat awal dan berbeda dengan yang digunakan dalam pembahasan dengan pemerintah.
"Sepanjang proses pembahasan, tidak ada ruang dan waktu yang layak bagi publik untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah dan DPR. Hal ini bertentangan dengan kewajiban pelaksanaan konsultasi publik pada setiap tahapan sesuai pasal 96 ayat (7) UU PPP," tulis PSHK.
Selain itu, PSHK menilai revisi UU PPP kontraproduktif dengan upaya menyelesaikan permasalahan tata kelola perundang-undangan. Sebab saat ini, masih terdapat lima masalah tata kelola regulasi di Indonesia.
Baca juga: Bumi Bulat atau Datar? Ini Penjelasan Ahli Tafsir Alquran
Pertama adalah perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan. Kedua, materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan.
Ketiga, banyaknya regulasi. Keempat, masih lemahnya pelaksanaan monitoring dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan. Keima, kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja parsial.
Sebelumnya, peneliti pusat studi hukum dan hak asasi manusia (HAM) pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi (LP3ES) Herlambang P Wiratraman mengatakan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) harus dikritisi publik. Sebab, DPR dan pemerintah membahas revisi undang-undang tersebut secara tak patut.
"Pemerintah dan DPR kembali membahas undang-undang dengan cara yang tidak patut secara formal," ujar Herlambang dalam sebuah diskusi daring, Jumat (15/4/2022).
Baca juga: Hukum dan Tafsir Mimpi Melihat Allah SWT
Ketidakpatutan tersebut terlihat ketika DPR dan pemerintah tak melakukan pelibatan publik secara luas. Padahal, jika asas keterbukaan kembali tak dilakukan oleh keduanya, revisi UU PPP yang sudah disahkan menjadi undang-undang bisa saja kembali digugat.
Sementara itu, ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai revisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, amar putusan MK memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja (Ciptaker), bukan revisi UU PPP.
Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan, UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat karena tidak dibentuk sesuai UU PPP. Salah satu alasannya karena UU PPP tidak mengenal metode omnibus law yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menyusun UU Ciptaker.
Namun, bukannya memperbaiki UU Ciptaker sebagaimana yang diperintahkan MK, pemerintah dan DPR justru ingin merevisi UU PPP. Upaya ini diharapkan dapat membuat UU Ciptaker konstitusional.
Baca juga: Mendoakan Orang Tua yang Meninggal, Sampaikah?
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti juga menyampaikan bahwa dissenting opinion untuk merevisi UU PPP bukan merupakan satu dari sembilan amar putusan MK. Apalagi jika tujuan utamanya adalah untuk memasukkan omnibus sebagai salah satu metode pembentukan perundang-undangan.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat pleno terhadap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Dalam rapat tersebut, Baleg mengambil keputusan tingkat I revisi undang-undang tersebut.
"Dapat kita setujui untuk dilanjutkan ke tahapan berikutnya dalam pembicaraan tingkat dua di sidang paripurna yang akan datang," tanya Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dijawab setuju oleh anggota DPR dan pemerintah yang hadir dalam rapat tersebut, Rabu (13/4/2022) malam.
Baleg dan pemerintah membahas 15 poin dalam revisi UU PPP. Poin itu di antaranya perubahan pasal 1 yang akan mengatur mengenai definsi metode omnibus; dan perubahan penjelasan Pasal 5 huruf g yang mengatur mengenai penjelaan asas keterbukaan.
Baca juga: Revisi UU PPP akan Disahkan dalam Rapat Paripurna Mendatang