REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beragama memerlukan ilmu. Sebab dengan ilmu, seorang hamba dapat terhindar dari kesalahan atau pun penyimpangan ketika mempraktikan ajaran agama. Dan untuk menggapai ilmu pengetahuan dalam beragama itu haruslah diambil dari sumber-sumber yang otentik, yakni dari para ulama.
Maka dari itu menurut anggota Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) KH Ghufron Mubin, dengan masifnya penggunaan internet dan media sosial, setiap muslim harus semakin berhati-hati dalam mengambil sumber ilmu pengetahuan dalam beragama. Sehingga tidak tersesat karena salah dalam mengambil sumber ilmu.
"Ilmu itu akan menjadi dasar kita beragama, akan menjadi dasar kita mempunyai sebuah karakter keberagamaan. Sehingga hati-hati, lihat dan perhatikan betul dari mana, dari siapa, kita akan mengambil ilmu pengetahun agama," kata Kiai Ghufron dalam program ngaji virtual yang disiarkan TV NU beberapa hari lalu.
Kiai Ghufron menjelaskan para ulama adalah pewaris para nabi (warasatul ambiya). Ulama mewarisi keilmuan dan perjuangan dakwah para nabi dan rasul. Maka kepada merekalah setiap muslim mempelajari agama.
Meski begitu, setiap Muslim harus cermat dalam memilih ulama? Jangan sampai mengambil ilmu pada orang yang sekadar mengaku-ngaku atau mengklaim dirinya sebagai ulama, tetapi tidak memiliki pengetahuan beragama bahkan tidak memiliki rekam jejak yang jelas dalam sanad keilmuannya.
Lalu kriteria ulama seperti apa yang patut dijadikan guru? Menukil pendapat Syekh Ibrahim Al Baijuri, ada empat kriteria yang harus ada pada ulama sehingga dapat menjadi panutan dalam beragama dan berkehidupan.
Pertama, ulama haruslah orang yang pakar tentang ilmu akidah. Menurut Kiai Ghufron, seorang ulama sudah seharusnya mampu menyampaikan tentang persoalan akidah, mengenalkan manusia kepada keesaan dan kesucian Allah SWT.
Kedua, ulama haruslah pakar tentang ilmu-ilmu syariat. Ia dapat menjadi rujukan umat karena menguasai ilmu-ilmu syariat seperti ushul fiqih, tafsir dan lain sebagainya. Dia juga mampu menggali dan menjelaskan hukum-hukum terbaru sehingga tidak ada penyimpangan yang dapat menyesatkan orang.
Ketiga, ulama harus punya sikap dan tindakan yang terpuji menurut sosial terlebih menurut syariat. "Jadi kalau ada seseorang, ucapannya tidak terpuji, tindakannya tidak terpuji, bahkan banyak mengajak orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji, baik menurut syariat atau pun menurut tatanan sosial maka berarti kita tidak boleh memanggilnya sebagai ulama karena tidak terpenuhi kriteria yang harus dipenuhi seorang ulama," katanya.
Keempat, ulama harus mengedepankan akal sehat dalam melaksanakan ibadah-ibadah mahdoh kepada Allah atau pun dalam ibadah sosial. Ia memiliki ketakutan kepada Allah. Pada sisi lain ia pun selalu berharap dan menggantungkan diri pada Allah.