REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani menyebut pelaku usaha di sektor riil masih mengalami kesulitan mengambil pendanaan berkelanjutan dari bank.
"Akhirnya untuk mencapai target pendanaan masing-masing bank sulit dilakukan karena demand belum jalan. Apalagi dua tahun ini, kecenderungan permintaan (pendanaan) yang biasa saja rendah sekali," kata Aviliani dalam webinar "Optimalisasi Green Finance untuk Sustainable Development" yang dipantau di Jakarta, Selasa (19/4/2022).
Karena itu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan menurutnya masih memerlukan waktu untuk dapat diimplementasikan sepenuhnya. Pasalnya pelaku usaha harus terlebih dahulu memenuhi standar internasional untuk layak mendapatkan pendanaan ramah lingkungan dari bank.
Saat ini pelaku usaha yang telah mendapatkan pendanaan tersebut biasanya pelaku usaha yang berorientasi pada ekspor atau pasar luar negeri, sementara pelaku usaha berorientasi pasar dalam negeri, termasuk UMKM, belum banyak memanfaatkan pendanaan berkelanjutan. "Memang sebagian besar sudah mengeluarkan green bonds dan green loans tapi mereka terkait dengan orientasi ekspor, tapi yang orientasi pasar domestik belum sepenuhnya menjalankan," kata Aviliani.
Saat ini untuk menjalankan kegiatan yang sesuai dengan pendekatan evironment, social, and governance (ESG), perbankan pun cenderung tidak hanya mengandalkan pada penyaluran pendanaan, tapi juga melakukan kegiatan yang bisa mereka lakukan sendiri, seperti mematikan lampu pada waktu tertentu atau melakukan daur ulang. "Jadi mereka menghemat energi untuk diri sendiri, belum sampai ke sektor riil, karena pembiayaan belum bisa mendanai demand yang harus memenuhi sertifikasi internasional," kata dia.