REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perempuan dan anak merupakan kelompok yang terbilang rentan terpapar ideologi radikal terorisme. Karena itu, langkah pencegahan sejak dini dari lingkungan terkecil perlu dilakukan untuk membendung narasi ideologi terorisme.
Salah satu bentuk pencegahan tersebut dapat dimulai dari level desa, termasuk dengan menghadirkan program kolaborasi lintas lembaga terkait pemberdayaan perempuan dan anak yang mendukung upaya pencegahan terorisme.
Sebagai bagian dari upaya mengimplementasikan langkah tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyepakati kerjasama di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta penanggulangan terorisme.
Kerja sama ini diresmikan melalui penandatangan nota kesepahaman antara BNPT dan Kemen PPA di Jakarta, Selasa (19/4/2022) yang dilakukan Kepala BNPT Komjen Pol Dr Boy Rafli Amar, serta Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Bintang Puspayoga).
Boy Rafli menuturkan BNPT menemukan beberapa kasus keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme. Sejauh ini terdapat belasan perempuan yang terbilang kasus tindakan terorisme.
"Dalam beberapa catatan kami, ada sejumlah perempuan yang terlibat dalam kasus terorisme. Dalam catatan kami kurang lebih ada sekitar 14," kata Boy Rafli.
Salah satu perempuan yang terjerat dalam tindakan terorisme tersebut ialah Zakiah Aini yang melakukan penyerangan di Mabes Polri pada 3 Maret 2021 lalu.
Kasus lainnya yang cukup menggemparkan melibatkan seorang ibu dan dua anak dalam aksi teror di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro pada Mei 2018 lalu yang merupakan bagian dari rentetan aksi terorisme di Surabaya.
Bila menilik dari perspektif global yang berkembang, perempuan dan anak yang terlibat dalam aksi teror merupakan korban dari ideologi terorisme yang ditanamkan.
"Dunia hari ini melalui UN masih melihat perempuan dan anak sebagai korban, walaupun sudah direkrut (kelompok terorisme). Secara fakta memang jadi pelaku, tapi sesungguhnya perempuan dan anak adalah korban yang dilakukan oleh kaum pria dalam proses radikalisasi yang dijalankan kelompok terorisme," kata Boy Rafli.
Senada dengan Kepala BNPT, Menteri PPA melihat keterlibatan perempuan dan anak dalam also terorisme ini dipicu kerentanan kelompok tersebut untuk terpapar ideologi teror, sehingga kemudian mereka menjadi pelaku sekaligus korban.
"Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan dilibatkan dalam aksi terorisme. Seperti kita ketahui bersama, itu adalah budaya patriarki, ekonomi maupun akses informasi," kata Bintang Puspayoga.
Karena itu dia berharap dengan kerja sama antara BNPT dan Kemen PPPA, kedua lembaga dapat berkolaborasi mewujudkan strategi penanggulangan terorisme, termasuk salah satunya dengan ikut berpartisipasi dalam program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak.
Sejauh ini, Bintang mengatakan terdapat 142 model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak di Indonesia. Dengan kerja sama yang diikat, BNPT diproyeksikan untuk terlibat lebih aktif menciptakan desa-desa ramah perempuan utamanya di daerah-daerah rawan aksi teror.
"Mudah-mudahan kita bisa turun bersama, bisa mewujudkan yang namanya Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang bebas keterpaparan dari paham radikal terorisme," kata dia.