REPUBLIKA.CO.ID,MADINAH -- Penelitian terhadap hadits dimulai ketika terjadi huru hara di tengah umat Islam. Keterangan ini sebagaimana pernyataan dari seorang Tabi'in, Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah.
Dikutip dari buku Inilah Faktanya karya Utsman bin Muhammad al-Khamis, dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Ibnu Sirin berkata:
"Dahulu, orang-orang tidak pernah bertanya tentang sanad (periwayatan hadits). Tetapi, setelah terjadinya fitnah (huru hara), mereka berkata kritis: 'Sebutkanlah kepada kami siapa saja perawi Anda'. Jika ternyata perawi riwayat tersebut dari golongan Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima; sedangkan jika ternyata perawi riwayat tersebut dari kalangan ahli bid‘ah, maka haditsnya ditolak".
Tidak bertanyanya orang-orang mengenai sanad terjadi karena ketika itu manusia begitu bisa dipercaya. Ibnu Sirin termasuk pembesar Tabi'in dan melihat langsung kehidupan para Sahabat, bahkan dia hidup bersama para Tabi'in generasi awal dan generasi akhir. Fitnah yang dimaksud di sini adalah pemberontakan yang dilakukan golongan-golongan sesat pada akhir-akhir pemerintahan Utsman radhiyallahu anhu.
Di dalam Alquran, Allah Subhanahu wa Ta'ala mencantumkan kaidah emas terkait verifikasi kabar yang dibawa seseorang, hanya saja umumnya orang tidak memerhatikan petunjuk ini:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodoban (keceroboban), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu" (Alquran surah Al-Hujurat ayat 6)
Maka dengan penegasan itu, secara umum umat muslim wajib meneliti semua kabar berita yang disampaikan.