REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Deddy Darmawan Nasution, Amri Amrullah
Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa (19/4/2022) menetapkan empat orang tersangka terkait dugaan praktik mafia minyak goreng yang mengakibatkan kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga yang wajar. Keempat tersangka tersebut, adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardahana (IWW), dan tiga orang dari produsen minyak goreng yakni Stanley MA (SMA), Master Parulian Tumanggor (MPT), dan Pierre Togar Sitanggang (PT).
Burhanuddin menegaskan, penetapan keempat tersangka ini bakal berlanjut dengan pengungkapan aktor-aktor lain penyebab kelangkaan, dan kenaikan harga tinggi minyak goreng di masyarakat. Burhanuddin menjanjikan penyidikan yang tuntas terkait dengan ‘permainan’ kotor dalam industri crude palm oil (CPO) dan turunannya, salah satu komoditas krusial bagi masyarakat tersebut.
“Hari ini, adalah langkah hadirnya negara untuk mengatasi, dan membuat terang apa yang sebenarnya terjadi tentang kelangkaan, dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021 lalu,” begitu kata Burhanuddin, saat konfrensi pers di Gedung Kejakgung, Jakarta, Selasa.
Burhanuddin menerangkan, peran keempat tersangka dalam kasus ini. Dari hasil penyidikan terungkap, adanya komunikasi antara perusahaan-perusahaan produsen CPO dan turunannya itu, dengan pihak-pihak di Kemendag. Komunikasi tersebt, meminta agar Kemendag, memberikan, dan menerbitkan izin ekspor terhadap sejumlah produsen CPO, dan eksportir minyak goreng.
Menurut Jaksa Agung, diketahui para perusahaan pemohon izin ekspor tersebut, tak menjalankan perintah undang-undang, dan aturan pemerintah tentang syarat, dan kewajiban korporasi dalam produksi CPO, dan turunanya. Padahal, perintah dalam aturan tersebut, syarat utama dalam penerbitan izin ekspor.
Burhanuddin melanjutkan, pihak-pihak perusahaan tak mengindahkan syarat pendistribusian CPO, dan turunannya agar sesuai dengan harga penjualan di dalam negeri (DPO). Juga, kewajiban perusahaan mendistribusikan 20 persen hasil produksi minyak goreng sebagai salah satu turunan CPO, untuk diedarkan memenuhi kebutuhan rakyat di pasar dalam negeri.
“Adanya permufakatan jahat antara pemohon, dan pemberi izin, dalam proses persetujuan ekspor tersebut. Dan dikeluarkannya izin ekspor kepada eksportir CPO dan turunannya, yang seharusnya itu ditolak,” begitu kata Jaksa Agung.
Burhanuddin mengungkapkan, dalam kasus ini, tersangka SMA, MPT, dan PT mewakili perusahaan masing-masing, menjalin pembicaraan dengan IWW selaku penyelenggara negara di Kemendag. Komunikasi tersebut, terkait dengan pemberian izin ekspor yang tidak seharusnya dterbitkan.
“Perbuatan tersangka IWW sebagai pejabat eselon satu telah menerbitkan secara melawan hukum persetujuan ekspor terkait komoditas CPO, dan produk turunanya kepada Permata Hijau Group, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Indonesia Asahan, dan PT Musim Mas,” begitu kata Burhanuddin.