REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Tiga perusahaan produsen crude palm oil (CPO) dan turunannya menjadi sorotan publik setelah Kejaksaan Agung (Kejakgung), menetapkan empat orang tersangka terkait dugaan korupsi pemberian persetujuan ekspor (PE) ekspor CPO dan turunannya oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), Selasa (19/4). Tiga perusahaan tersebut, adalah PT Wilmar Nabati Indonesia, dan Permata Hijau Group (PHG), serta PT Musim Mas (MM).
Dalam penelusuran Republika, tiga perusahaan tersebut, berbasis produksi di Sumatera Utara (Sumut). Di situs-situs resmi perusahaan masing-masing, tiga korporasi tersebut memproduksi minyak goreng kelapa sawit berbagai merk yang terkenal di pasaran, dan akrab bagi konsumen, serta masyarakat Indonesia.
Situs resmi PT Musim Mas, www.musimmas.com, perusahaan tersebut tercatat memiliki 6 merk minyak goreng. Yakni minyak goreng merk Amago, M&M, SunCo, Surya, Tani, dan Volla.
Sedangkan dari laman resmi Permata Hijau Group, www.permatagroup.com, perusahaan yang berbasis di Kota Medan itu, adalah pemilik hak, dan distribusi 4 merk minyak goreng kelapa sawit. Yakni Parveen, Palmata, Permata, dan Panina.
Adapun PT Wilmar Nabati Indonesia, adalah bagian dari konsorsium raksasa bisnis kelapa sawit di Indonesia, bahkan dunia, yakni Wilmar Internasional. Perusahaan internasional tersebut, memproduksi dan memasarkan banyak merk minyak goreng kelapa sawit ke negara-negara besar di Asia, Afrika, bahkan sebagian ke Eropa.
Di Indonesia, beberapa merk yang diproduksi dan dipasarkan oleh PT Wilmar Nabati Indonesia, seperti Fortune, Sania, Sovia, dan Siip. Tiga perusahaan tersebut, disebut mendapatkan PE CPO dan turunannya dari Kemendag sejak Januari 2021, sampai Maret 2022.
Akan tetapi dalam penerbitan PE tersebut, penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menyatakan adanya praktik melanggar hukum. Yaitu, pelanggaran terhadap aturan dan ketentuan Undang-undang (UU) Perdagangan, dan peraturan pemerintah tentang distribusi minyak goreng.
Dikatakan, PE CPO dan turunannya itu, diterbitkan tak sesuai syarat keharusan perusahaan mengalokasikan 20 persen kewajiban pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri (DMO), dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO).
Pengabaian DMO, dan DPO oleh perusahaan-perusahaan tersebut, dikatakan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, sebagai salah satu penyebab kelangkaan, dan pelambungan harga komoditas minyak goreng di masyarakat yang terjadi sejak akhir 2021 sampai hari ini. Kondisi tersebut, dinilai merugikan negara, dan perekonomian negara. “Hari ini, adalah langkah hadirnya negara untuk mengatasi, dan membuat terang apa yang sebenarnya terjadi tentang kelangkaan, dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021 lalu,” begitu kata dia, saat konfrensi pers di Gedung Kejakgung, Jakarta, Selasa (19/4).
Lewat pernyataan tersebut, Jaksa Agung menetapkan tiga tersangka dari masing-masing perusahaan tersebut. Antara lain, Stanley MA (SMA), yang ditetapkan sebagai tersangka selaku Senior Manager Corporates Affair pada Permata Hijau Group. Master Parulian Tumanggor (MPT), dijadikan tersangka selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia. Dan Pierre Togar Sitanggang (PTS), ditetapkan tersangka selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Satu tersangka lagi dalam kasus ini, yakni pejabat dan penyelenggara negara kelas eselon-1 di Kemendag. Yakni, Indrasari Wisnu Wardahana (IWW), yang menjabat aktif sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri di Kemendag.
Kejaksaan menuding tersangka IWW, bermufakat dengan tiga tersangka swasta itu, dalam menerbitkan PE kepada tiga perusahaan tersebut. Meskipun diketahui para korporasi produsen CPO dan turunannya itu, tak memenuhi syarat-syarat pemenuhan DMO, dan DPO untuk melakukan ekspor produksinya ke luar negeri. Penyidikan berjalan, menduga adanya suap, dan gratifikasi dalam pemberian PE CPO dan turunannya itu.