REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Nawir Arsyad Akbar
Seorang sopir angkutan kota (angkot) bernama Mulak Sihotang menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mulak yang tanpa didampingi kuasa hukum mempersoalkan proses pembentukan UU IKN.
"UU IKN ini bertentangan dengan prinsip banyak orang karena berada jauh dari pusat ibu kota yang sebelumnya, penempatannya menimbulkan pro-kontra karena ibu kota negara pindah dan masyarakat tidak dapat lagi melihat lokasi yang jauh dan ini mengekang hak konstitusional warga negara dan diharapkan Mahkamah dapat memberikan surat pada DPR untuk merevisi UU IKN ini,” ujar Mulak dikutip laman resmi MK dalam persidangan pada Selasa (19/4/2022).
Menurut dia, proses pembentukan UU IKN melanggar UU Penataan Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2007, Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur, dan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Dia mengatakan, akibat dilanggarnya peraturan perundang-undangan tersebut, UU IKN cacat formil.
Mulak menuturkan, apabila melalui prosedur yang benar, seharusnya rencana induk tata ruang provinsi Kalimantan Timur direvisi terlebih dahulu agar didapatkan rekomendasi untuk pembuatan masterplan Ibu Kota Nusantara. Sehingga, ketika pindahnya Ibu Kota Negara diharapkan mendapatkan izin dari pemerintah setempat dan tidak memindahkan serta-merta begitu saja.
Selain itu, sebagai warga negara yang membayar pajak, Mulak merasa dirugikan atas pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Mulak juga berpendapat, dalam rangka pendanaan IKN tersebut, otorita IKN dapat melakukan pemungutan pajak khusus dan bahkan pajak daerah serta retribusi daerah.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan nasihat kepada pemohon untuk memperjelas pengujian formil dengan uraian yang lebih spesifik. Pemohon juga disarankan agar mempersingkat permohonan yang dimulai dengan perbaikan identitas pemohon, kedudukan hukum atau kualifikasi perseorangan pemohon, dan syarat-syarat kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, faktual, dan potensial, serta pertautan pemohon dengan norma yang diujikan.
“Dalam hal ini yang diujikan adalah undang-undang sehingga diharapkan juga ada pendampingan atau Pemohon memperbaiki permohonan yang bersifat formil. Sehingga, terlihat kerugian konstitusional Pemohon yang terpaut dengan cacat formiil dari undang-undang yang diajukan. Ini bicara proses pembentukan UU IKN, maka tunjukkan persoalan prosesnya,” kata Enny.
Adapun, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh serta Arief Hidayat memberikan nasihat agar pemohon mempelajari ketentuan tentang perbedaan pengajuan uji formil dan materiil. Dengan demikian, permohonan pemohon menjadi lebih mudah dimengerti dan sistematis sesuai dengan ketentuan permohonan pengujian formil di MK.
“Sistematiknya belum memenuhi syarat dan perlu disesuaikan khususnya Pasal 10 ayat (2) yang terdiri atas identitas Pemohon sampai pada tuntutan Petitum. Ini semua harus diperbaiki dengan jelas, jika tidak, maka dapat saja dikatakan oleh Hakim, permohonan ini kabur. Jadi jka lebih lengkap maka permintaan Pemohon dapat dipertimbangkan karena jelas hal yang diinginkan Pemohon,” kata Arief.