REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto menilai proses pembahasan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, sudah bermasalah dari awal.
Menurutnya, prosesnya dilakukan secara tidak transparan, dibahas dalam waktu singkat di DPR. Dan ini terbukti kemudian hari secara substansi memiliki berbagai persoalan.
“Di antaranya adalah komponen cadangan yang bisa dikerahkan untuk ancaman non-militer dan hybrida, sementara definisi kedua ancaman tersebut tidak jelas. Ini berpotensi melahirkan konflik horizontal di masyarakat,” kata Ardi, Jumat (22/4/2022).
Hal ini disampaikan Ardi Mantodalam FGD dan Media Briefing yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Human Rightfs Law Studies (HRLS) UNAIR bekerjasama dengan Imparsial dan Centra Initiative membedah UU PSDN dalam perspektif politik, hukum dan keamanan, Jumat (22/4), seperti siaran pers yang diterima Republika.co.id.
Selain itu, lanjut Ardi, komponen cadangan yang berasal dari sumber daya alam dan sumber daya buatan juga tidak melalui proses yang demokratis karena melanggar prinsip kesukarelaan. Sementara hak atas properti telah dijamin oleh konstitusi.
"Sumber anggaran Komcad dalam UU ini juga dapat diperoleh dari sumber lain yang tidak mengikat. Hal ini berpotensi melahirkan 'tantara bayaran' yang dibiayai oleh pihak swasta, tapi menggunakan tangan negara untuk mengamankan kepentingan privat/ perusahaan,” papar Ardi.
Direktur LBH Surabaya, Abdul Wahid, yang juga menjadi pemateri diskusi mengingatkan bahwa UU PSDN mengindikasikan menguatnya militerisme dan peran militer di ranah sipil. Ancaman nonmiliter dan hybrida juga tidak jelas.
Komponen cadangan dari unsur non-manusia, menurut Abdul, juga sangat berpotensi melahirkan konflik, seperti kasus Puslatpur di Alas Tlogo yang tidak kunjung selesai. Pengaturan Komcad dari sumber daya alam dan sumber daya buatan ini akan berpotensi melahirkan konflik agrarian.
Dosen Fakultas Hukum UNAIR, Haidar Adam, menilai UU PSDN ini masih menggunakan paradigma lama terkait pertahanan. Padahal paradigma terkait pertahanan selalu berubah dan menyesuaiakan diri dengan konteks dan perkembangan global. Dalam proses persidangan di MK terkait UU PSDN ini, menurut dia, pemerintah nampaknya tidak mengadopsi prinsip HAM Universal. Pemerintah hanya mengedepankan argumentasi kepentingan pertahanan nasional.
UU PSDN, lanjut Haidar Adam, juga sepi dari pengamatan publik. Hal ini, menurutnya, karena pembahasannya juga tidak dibuat terbuka kepada publik.
Selain itu, lanjutnya, secara substansi UU ini juga tidak dirumuskan dengan cermat, karena tidak memperhatikan UU induk dan UU lainnya, seperti UU TNI dan UU pertahanan negara.
UU PSDN ini juga memiliki potensi melanggar HAM dan memiliki potensi untuk penyalahgunaan wewenang. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) jangan sampai hanya melihat nesesitas keberlakuan UU ini saja, melainkan penting untuk mempertimbangkan dampak ke depannya jika UU ini diberlakukan.
Ketua Centra Initiative, Al Araf menilai UU PSDN ini tidak memiliki tujuan yang jelas, apakah akan mengatur bela negara, wajib militer, atau keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara. Sehingga pengaturannya bersifat tumpang tindih dengan beberapa aturan legislasi lainnya.
UU ini juga tidak menghormati HAM terkait prinsip concentius objection. Padahal PBB sudah menjamin hak untuk menyatakan keberatan atas dasar keyakinan atau contentious objection bagi siapapun yang menolak ditugaskan untuk penggunaan kekerasan dalam operasi militer.
Berkaca dari masa lalu, pengalaman pembentukan Pamswakarsa atau milisi di Timor Leste harus dijadikan pelajaran penting untuk mengkritisi komponen cadangan ini. Karena mereka dilatih secara militer dan potensi konflik horisontal.