Ahad 01 May 2022 19:30 WIB

Toleransi Beragama di Tanjungpinang Bersemi Sejak Era Kolonial

Kedatangan orang China ke Pulau Bintan terjadi sejak dibukanya perkebunan gambir.

Red: Teguh Firmansyah
Objek wisata kampung pelangi, di Kampung Bugis, Tanjungpinang, Kepri.
Foto: antara
Objek wisata kampung pelangi, di Kampung Bugis, Tanjungpinang, Kepri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Rumah Moderasi Beragama STAIN Sultan Abdulrahman Kepulauan Riau, Zulfa Hudhiyani, mengatakan sejak era kolonial toleransi antarumat beragama sudah bersemi di Tanjungpinang. Hal itu dibuktikan dengan beragamnya etnis serta rumah ibadah di wilayah tersebut.

"Tanjung Pinang termasuk dalam kategori kota kolonial dan kota dagang. Banyaknya etnis yang mendiami wilayah tersebut dan hidup secara berdampingan menjadi salah satu bukti sejarah penerapan moderasi beragama," ujar Zulfa dalam FGD Keberagaman di Tanah Melayu yang diikuti dari Jakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Zulfa menjelaskan penduduk di Tanjungpinang awalnya didominasi oleh etnik Melayu yang beragama Islam. Dalam perkembangannya muncul etnik-etnik lain dan berbaur dengan masyarakat setempat seperti Bugis, Minangkabau, Jawa, dan Tionghoa.

Kedatangan orang China ke Pulau Bintan terjadi secara besar-besaran sejak dibukanya perkebunan gambir dan lada pada 1740-an pada era Daeng Celak. Setiap etnik itu kemudian membentuk paguyuban/koloni yang menyebar ke setiap penjuru wilayah Tanjungpinang.

"Ada 10.000-an orang Tionghoa yang bekerja di perkebunan gambir dan lada di Pulau Bintan pada abad ke-18," kata dia.

Saat itu pemilik kebun merupakan masyarakat Melayu dan Bugis. Mereka menerima kedatangan orang Tionghoa yang eksodus dari pulau Jawa. Etnis Tionghoa ini kemudian menjadi etnik utama selain etnik Melayu di Tanjungpinang.

Menurutnya, berseminya toleransi yang merupakan perwujudan moderasi beragama ditunjukkan dengan adanya pembangunan gereja di Tanjung Pinang pada 1835-an.Menariknya, Kesultanan Riau Lingga lewat Raja Abdul Rahman dan Kapitan Tan Hoo ikut memberikan bantuan berupa uang dan tenaga dalam pembangunan gereja tersebut.

Gereja ini awalnya dimanfaatkan untuk ibadah orang Belanda yang kini dikenal dengan sebutan Gereja Ayam.Dalam menciptakan harmonisasi antarumat beragama, Pemerintah Kolonial Belanda membangun rumah ibadah berdekatan. Gereja Protestan dibangun berdekatan dengan Masjid Keling yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Al Hikmah, serta Klenteng Tien Hou Kong atau Vihara Bahtra Sasana.

"Saat misionaris dari Jerman datang ke Tanjungpinang pada 1834 belum ada gereja di Tanjung Pinang. Rumah ibadah yang ditemui hanya Masjid Keling dan Kelenteng di Kampung China. Masjid Keling ini dibangun para perantau dari India atau orang Keling," kata dia.

Pihak Kesultanan Riau, kata dia, memberikan hak yang sama kepada semua etnik yang ada untuk menjalankan aktivitas ekonomi termasuk urusan keagamaan. Kesultanan saat itu mengeluarkan plakat yang isinya memperbolehkan membuka ladang gambir bagi masyarakat Tionghoa."Pihak Kerajaan Riau Lingga ini akan menghukum siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa,. Termasuk memberikan izin kepada siapa saja untuk pemakaian tanah untuk kebun dan sebagainya, tak ada keistimewaan bagi siapapun," kata dia.

Plakat tersebut juga menjadi penanda dalam menciptakan berbagai ketertiban di masyarakat. Plakat ini sebagai pedoman agar terciptanya hubungan harmonis di tengah masyarakat yang multietnis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement