REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) melihat kemungkinan adanya unsur persaingan usaha terkait isu Bisfenol A (BPA). Namun demikian, Mafindo juga berharap unsur kesehatan pangan tetap harus menjadi perhatian bersama.
Presidium Mafindo Bidang Cek Fakta, Eko Juniarto, mengungkapkan pihaknya tidak pernah mengatakan isu hoaks terkait isu BPA galon guna ulang ini tidak benar.
”Saya tidak menutup mata memang adanya kemungkinan persaingan bisnis atau usaha terkait isu BPA ini. Tapi, saya bukan ahli persaingan bisnis. Saya cuma orang yang mengerti apa itu metodologi sains,” ujar Eko Juniarto, Sabtu (23/4/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Dia menyoroti isu BPA karena membaca adanya temuan baru BPOM yang mengatakan bahwa pada uji post-market 2021-2022.
Mafindo juga mengutip apa yang disampaikan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang bahwa hasil uji migrasi BPA menunjukkan sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran, serta 24 persen sampel pada sarana produksi berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
“Kan memang masih dievaluasi oleh BPOM. Mafindo masih menunggu hasil evaluasi dari BPOM. Namun, kalau melihat standar yang berlaku di Eropa dan Kanada, sepertinya akan disesuaikan ambang batas amannya,” jelas Eko Juniarto.
Sebelumnya, dari sisi ilmiah, pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, sudah menjelaskan bahwa Polikarbonat (PC) itu merupakan bahan plastik yang aman.
Menurutnya, antara BPA dan PC itu dua hal yang berbeda. Banyak orang salah mengartikan antara bahan kemasan plastik polikarbonat dan BPA sebagai prekursor pembuatnya.
Dia mengatakan beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya yaitu Polikarbonatnya yang aman jika digunakan menjadi kemasan pangan.
Menurutnya, BPA itu memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik PC. Dia mengibaratkannya seperti garam NaCl (Natrium Chloride), dimana masyarakat bukan mau menggunakan Klor yang menjadi bahan pembentuk garam itu, tapi yang digunakan adalah NaCl yang tidak berbahaya jika dikonsumsi.
”Jadi dalam memahami ini, masyarakat harus pandai mengerti agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan,” kata Zainal.
Dia juga berharap berita-berita yang terkait BPA galon guna ulang harus dijelaskan secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.
“Harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” kata Zainal.