REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Setelah melewati puasa terutama hari-hari terakhir Ramadhan, biasanya umat Islam Indonesia menjalankan ritual safar ke kampung halaman atau mudik. Ramainya tradisi ritual mudik atau kembali ke udik hanya ada di Indonesia.
KH Jeje Zaenudin dalam bukunya "Seputar Masalah Puasa, Itikaf, Lailatul Qadar dan Lebaran" menjelaskan pengertian safar, menurut ahli bahasa safar tersusun dari 'sa, fa, dan ra yang berarti menampakkan dan mengungkap. Dan kata itu muncul ungkapan (asfara al-shubhu), atinya "pagi telah bersinar".
Alat menyapu tanah disebut (al-misfarah) berarti sapu, karena dengan sapu itu mengungkap tanah dari bumi (al-safir) artinya dua yaitu orang yang ikut campur urusan dua orang yang sedang bermusuhan untuk mendamaikan karena ia mengungkap hal-hal yang bisa menghubungkan keduanya.
(Al-sifr) yakni buku, karena dengannya mengungkap arti dengan penjelasannya safarat al mar'atu wajhaha wanita itu membuka wajahnya, yakni memperlihatkannya.
Kata as-sufru adalah jamak dari kata safir dan kata musafirun merupakan jamak dari musafir. As-sufru dan al-musafirun mempunyai satu arti. Yaitu orang yang melakukan perjalanan itu disebut musafir karena dengan melakukan perjalanan seseorang akan banyak menemukan dan menyingkap pengalaman baru.
"Dia akan menyadari bahwa ternyata bumi Allah SWT itu luas, yang selama ini dia terkungkung dalam keterbatasan lingkungannya," tulis KH Jeje Zaenudin.
Disebut safar karena dengan malakukan perjalanan jauh bersama orang lain akan terbukalah hakikat perilaku dan akhlak seseorang.
Bagaimana ketabahannya, keuletannya, sifat tolong menolongnya, ataukah dia justru seorang yang berakhlak buruk, tidak sabar, emosional, lemah fisik, tidak suka tolong menolong dan sebagainya dari akhlak buruk yang selama ini tersembunyi pada dirinya.
Menurut istilah syara, kata safar berarti keluar dari kampung halaman menuju suatu tempat yang berjarak jauh sehingga pelakunya diperbolehkan mengqashar sholat. Dengan demikian tidaklah dikategorikan safar jika perjalanan itu dekat.
"Semisal perjalanan seseorang ke pasar, ke kebun, ke kantor, ke tetangganya, dan perjalanan-perjalanan lain yang merupakan kesehariannya dimana dia pulang pergi tanpa membutuhkan perbekalan dan tidak membutuhkan waktu yang banyak," katanya.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai batas minimal yang dikatagorikan safar. Sebagian ulama mengukur dengan waktu minimal sehari-semalam perjalanan. Sebagian ulama membatasi minimal dua hari perjalanan.
"Sebagian yang lain dengan batasan minimal tiga hari tiga malam perjalanan. Bahkan ada yang lebih singkat dari itu, yaitu sekitar 12 mil," katanya.