BEKASI, Suara Muhammadiyah – Agama identik dengan praktik ibadah yang bersifat ritual, begitu pula dalam Islam. Semua ibadah mahdhah (ibadah yang semua penetapannya berasa dari dalil dan syariat) merupakan praktik ritual yang rutin dilaksanakan sebagai bentuk ketaatan seorang hamba pada penciptanya. Allah memerintahkan hambaNya untuk melakukan ibadah tidak sebatas pada praktik ritual saja, namun ada maksud dan tujuan yang diperuntukkan bagi orang yang melaksanakan ibadah tersebut. Topik ini diangkat oleh Dewan Kemakmuran Masjid ‘Izzatul Islam, Bekasi, dalam agenda Kajian Iktikaf.
Sebanyak 500 jamaah iktikaf memenuhi masjid yang berlokasi di Bekasi. DKM ‘Izzatul Islam menghadirkan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Ma’mun Murod, M.Si., untuk menjadi narasumber kajian dengan tema Puasa Ramadan, Dari Ritual Menuju Sosial. “Ujung dari keberagamaan sesorang hamba kepada Tuhannya itu ada pada dimensi sosial dan kemamusian,” ujar Ma’mun mengawali kajian pada Sabtu (23/04) malam.
Orang yang beragama akan melewati tahapan-tahapan. Pertama, tahapan spiritualitas merupakan tahap tauhid yang ditunjukkan dengan persaksian atau syahadat. “Barang siapa yang bersaksi dengan 2 kalimat syahadat, maka jasadnya diharamkan atas api neraka. Jangan ditafsirkan secara lahdiyah. Kalau seperti itu, (Islam) tidak akan melahirkan seorang Bilal. Tidak akan melahirkan seorang sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan sahabat sahabat lainnya. Mereka rela disiksa karena bertauhid,” kata Rektor UMJ.
Ma’mun mengkritisi umat muslim di Indonesia yang bertauhid masih sekedar di lidah saja. Menurutnya, orang yang bertauhid adalah orang yang berani mengatakan ‘tidak’. Praktik korupsi yang semakin marak terjadi, pemerintah yang sembrono menetapkan kebijakan, adalah contoh kasus yang menunjukkan bahwa kalimat tauhid tidak memiliki efek apapun bagi umat muslim di Indonesia. Konsep tauhid belum selesai di masyarakat, sehingga pelanggaran dianggap biasa.
Tahapan kedua adalah tahap ritualitas. Tahap ini adalah praktik ibadah yang rutin dilaksanakan umat beragama. Ibadah yang harus dilaksanakan oleh umat muslim tidak sebatas pada ritual saja, melainkan terdapat dimensi tauhid, dimensi ritual, dan dimensi sosial kemanusiaan. “Kalau ada orang yang solatnya baik dan benar, maka dipastikan dapat menentang kebatilan, kemungkaran, dan bisa mengajak orang pada kebaikan. Innashsholaata tanha ‘anil fahsyaai wal munkar,” tegas Ma’mun.
Umumnya, umat muslim meningkatkan ibadanya di bulan Ramadan. Namun kondisi tersebut disayangkan oleh Ma’mun karena tingkat ibadah itu biasanya kembali menurun di bulan-bulan setelahnya. Menurutnya, harus ada dekonstruksi puasa. “Dekonstruksi, anggap istimewa bulan-bulan di luar Ramadan. Ritualitas di bulan Ramadan itu hendaknya akan berlangsung terus. Saya berharap umat islam tidak menjadi umat yang ritualistik yakni ibadah hanya untuk mencari pahala,” kata Ma’mun.
Memaknai ibadah tidak selesai pada dimensi ritual, namun umat Islam juga perlu memaknai pada dimensi sosial kemanusiaan. Ibadah puasa sarat akan pesan-pesan sosial. Surat Al-Baqarah ayat 183 sampai 185 menjelaskan tentang ibadah puasa, mulai dari perintah kewajiban berpuasa, sampai penjelasan mengenai aturan pengecualian dalam berpuasa.
Pengecualian bagi orang yang tidak mampu berpuasa adalah dengan mengganti puasa di bulan lain, atau membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Menurut Ma’mun, pengecualian ini sarat akan nilai sosial. “Orang yang kerjanya berat, seperti kuli bangunan misalnya. Puasa tidak memungkinkan, mengganti puasa juga tidak memungkinkan, karena dia harus bekerja untuk menafkahi keluarganya (misalnya). Membayar fidyah juga tidak bisa. Fidyah dan zakat mereka seharusnya dibayarkan oleh orang mampu dan lembaga zakat,” tegas Ma’mun.
Umat Islam harus lebih memaknai pesan-pesan sosial yang Allah berikan melalui perintah ibadah yang sifatnya ritual. (DN)