Senin 25 Apr 2022 13:30 WIB

Busyro Muqqodas, AMAN, Hingga Walhi Gugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi

Para pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan gugatannya.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi anggota Arief Hidayat (kirI) dan Manahan MP Sitompul memimpin jalannya sidang perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara di kantor MK, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Sidang tersebut beragendakan perbaikan permohonan.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi anggota Arief Hidayat (kirI) dan Manahan MP Sitompul memimpin jalannya sidang perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara di kantor MK, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Sidang tersebut beragendakan perbaikan permohonan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pendahuluan pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Senin (25/4/2022). Perkara nomor 54/PUU-XX/2022 tersebut diajukan Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia, Dwi Putri Cahyawati, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Dalam persidangan, para pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Ermelina Singareta, mengatakan proses pembentukan UU IKN tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya (meaningfull participation) sebagaimana dimaksud pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Menurut dia, hal ini dapat ditelaah dari proses pembentukan UU 3/2022 yang dibuat secara singkat.

Baca Juga

"Surpres (surat presiden) Rancangan UU IKN diterbitkan pada 29 September 2021, dilanjutkan dengan agenda pendahuluan di DPR pada 3 November 2021. Kemudian rapat paripurna dalam rangka pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan menjadi undang-undang pada tanggal 18 Januari 2022. Jika dikurangi dengan masa reses, maka pembahasan Rancangan UU 3/2022 di DPR hanya 17 hari," ujar Ermelina dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto, Senin (25/4/2022).

Ermelina menjelaskan, UU IKN juga tidak melibatkan pihak yang memiliki concern secara luas, termasuk para pemohon yakni Busyro, Trisno, dan Dwi yang berlatar belakang dosen dan dekan fakultas hukum. Menurutnya, ketiga pemohon merupakan bagian dari orang-orang yang memiliki pandangan dan perspektif luas dan strategis terkait dengan isu IKN, yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembentukan UU IKN.

Selain itu, kata Ermelina, kelompok masyarakat adat di wilayah calon IKN yang terdampak langsung juga tidak dilibatkan. Hasil identifikasi masyarakat adat di wilayah IKN dalam dokumen naskah akademik Rancangan UU IKN menyebutkan, setidaknya terdapat tujuh suku asli di wilayah calon IKN, antara lain Suku Paser, Suku Kutai, Suku Bajau, Suku Dayak Basap, Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Benuaq, dan Suku Dayak Tunjung.

Sementara selebihnya ialah masyarakat pendatang dari berbagai suku di Indonesia, seperti Jawa, Bugis, Banjar, dan sebagainya. "Lebih lanjut, merujuk pada dokumen naskah akademik, terdapat dua potensi dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah calon IKN, yaitu hilangnya mata pencaharian dan tempat tinggal," kata dia.

Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan, pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Para pemohon meminta MK menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan para pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan dengan melihat Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021. Para pemohon juga disarankan menjelaskan kedudukan hukum secara tegas, berkaitan dengan uraian kerugian konstitusional atau dugaan konstitusional yang dialami.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan para pemohon untuk menjustifikasi kedudukan hukum. “Harus dijelaskan di masing-masing pemohon apakah dia terdampak langsung atau orang yang concern atau dua-duanya. Nah itu harus dicantumkan dalam legal standing. Sehingga tergambar apa hubungan atau terkaitan antara pemohon dan permohonan pengujian formil ini," kata dia.

Selain itu, Saldi juga meminta para pemohon untuk membaca kembali Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. “Saya berharap ya yang 53 orang itu sudah baca betul Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Karena apa, di putusan MK itu sudah dijelaskan tahap-tahap pembentukan UU itu,” tegasnya.

Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan bahwa para pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan. Adapun perbaikan diterima oleh Kepaniteraan MK pada 9 Mei 2022.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement