REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana hukuman maksimal bagi tersangka perkara dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya digaungkan oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat dan pakar hukum. Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai bisa mengambil opsi tuntutan hukuman mati atau seumur hidup di kasus ini.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, melempar wacana ini ke publik justru dapat mempersulit kinerja kejaksaan. ICJR meminta, Kejaksaan meninjau sejumlah hal.
Pertama, ICJR perlu mengingatkan dalam menerapkan pidana mati untuk kasus korupsi terbatas pada keadaan tertentu yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, antara lain hanya ketika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan merupakan pengulangan/residivis tipikor.
Sehingga, meskipun dari sisi waktu kejadian memang terjadi saat pandemi, namun Kejaksaan perlu mencermati dengan lebih jeli apakah kronologi ekspor sawit mentah yang diduga mengakibatkan kelangkaan supply minyak goreng domestik dalam kasus ini termasuk juga dalam kriteria keadaan tertentu yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) tersebut.
Menurut ICJR, sejauh ini berdasarkan kasus posisi dan penjelasan Kejaksaan tempo hari, kasus minyak goreng belum memenuhi kriteria dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tersebut. "Sehingga, memaksakan penggunaannya justru akan menghabiskan tenaga dan fokus dari kejaksaan sendiri," kata peneliti ICJR Iftitahsari dalam keterangan pers yang dikutip Republika pada Senin (25/4).
Kedua, ICJR memandang pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan. Sedangkan penegak hukum khususnya Kejaksaan juga lebih baik memaksimalkan proses penegakan hukum yang ada dengan mengusut potensi pencucian uang, mengejar beneficial owner bukan hanya pelaku lapangan, hingga mengupayakan pemulihan/perampasan aset.
ICJR menekankan orientasinya bukan menghukum pelaku lapangan yang umumnya bisa tertangkap dengan seberat-beratnya hukuman seperti pidana mati. Namun, memastikan seluruh pelaku yang bertanggung jawab dapat dihadapkan ke pengadilan dan mengejar seluruh aset pelaku yang dapat dirampas hingga menjatuhkan pidana tambahan.
"Seperti denda atau pembayaran uang pengganti untuk kepentingan publik/negara," ujar Iftitahsari.