REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lembaga Council on American-Islamic Relations (CAIR) telah merilis laporan berjudul "Still Suspect: The Impact of Structural Islamophobia”, Senin (25/4/2022). Dalam laporan itu, CAIR menyebut diskriminasi terhadap Muslim di Amerika Serikat (AS) meningkat sebesar sembilan persen pada 2021 dibandingkan tahun sebelumnya.
CAIR mengungkapkan, mereka menerima 6,720 pengaduan secara nasional tahun lalu. Jika diperinci, terdapat 2.823 pengaduan soal imigrasi dan perjalanan, 745 pengaduan diskriminasi di tempat kerja, 553 pengaduan penolakan akomodasi publik, 679 pengaduan penegakan hukum dan pemerintah, 308 pengaduan terkait insiden kebencian dan bias, 278 pengaduan tentang hak penahanan, 177 pengaduan insiden sekolah, dan lebih dari 1.100 pengaduan umum.
“Ini merupakan jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan ke CAIR dalam 27 tahun. Tonggak sejarah ini mengkhawatirkan,” kata Direktur Eksekutif CAIR Nihad Awad dalalm konferensi pers, dilaporkan laman Anadolu Agency.
Laporan CAIR menemukan bahwa ada peningkatan 55 persen dalam penegakan hukum dan pengaduan pemerintah pada 2021. Kemudian terkait insiden kebencian dan bias yang mencakup pelepasan paksa jilbab, pelecehan, vandalisme serta serangan fisik, terdapat peningkatan sebesar 28 persen.
Nihad Awad mengungkapkan, jika berkaca pada laporan terbaru, Islamofobia di AS bersifat struktural dan mendalam. "Islamofobia telah menjadi arus utama di Amerika. Ia masuk ke lembaga pemerintah dan ruang publik melalui undang-undang, kebijakan, retorika politik, dan manifestasi lainnya," ucapnya.
Kendati demikian, dia yakin pemerintah AS dapat menjadi bagian dari solusi untuk menekan kasus Islamofobia. "Kami mendesak Kongres hari ini mengadopsi undang-undang yang membuat pendanaan federal untuk lembaga penegak hukum lokal bergantung pada lembaga-lembaga yang mendokumentasikan dan melaporkan kejahatan rasial ke database nasional FBI. Ini akan menawarkan insentif bagi penegak hukum lokal untuk menganggap serius ancaman Islamofobia," kata Awad.