YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Senin (25/4), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah menggelar acara konferensi pers dan diskusi. Acara yang digelar melalui daring dan luring di kantor PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, ini juga dihadiri oleh segenap elemen sipil, di antaranya warga Desa Wadas, LBH Yogyakarta, Walhi Yogyakarta, pers, dan peneliti.
Langkah tegas ini dilatarbelakangi kasus kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat Wadas pada 8-9 Februari 2022 lalu. Dalam skala lebih luas, pernyataan sikap ini juga merupakan respons atas ancaman kerusakan lingkungan akibat pertambangan batu andesit di sana.
Dokumen pernyataan resmi ini disusun berdasar hasil kajian ilmiah di lapangan bersama Tim Peneliti Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain itu, kerja kolaboratif ini juga menghasilkan satu dokumen policy brief yang berisi kajian komprehensif mengenai bukti pelanggaran HAM dan krisis sosio-ekologi di Wadas.
Dalam sambutannya, M. Busyo Muqqodas menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Wadas ini ialah tragedi “hilir”. Kasus-kasus serupa juga bisa kita lihat di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupatan Banyuwangi, dan juga di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang.
Jika rentetan kasus kekerasan di banyak tempat itu dikatakan sebagai kasus hilir, tentu ada hulu tempat di mana sumber semua masalah tersebut muncul. Penelusuran hulu ini berujung pada birokrasi kita yang maladministrasi.
Maka dari itu, sebagai bentuk tanggung jawab organisasi keagamaan untuk saling tolong menolong (ta’awun), Muhammadiyah mengambil sikap tegas pada permasalahan bangsa ini. “Muhammadiyah selalu konsern menegakkan nilai kemakrufan,” tandas Pak Busyro Muqqodas.
Ditekankan kembali oleh Trisno Raharjo, Ketua MHH PP Muhammadiyah, upaya ini merupakan bagian dari advokasi bagi warga Wadas melalui jalur kajian ilmiah yang komprehensif.
Adapun pembacaan isi Pernyataan Sikap disampaikan David Effendi selaku perwakilan LHKP PP Muhammadiyah dan ketua tim riset. Terdapat delapan poin pokok dalam dokumen ini yang perlu diperhatikan pemerintah pusat, daerah, kepolisian, dan pemangku kebijakan lainnya.
Di antara poinnya ialah masalah dokumen perencanaan pembangunan yang maladministrasi, tidak adanya musyawarah dengan masyarakat (deliberatif), serta tindakan represif aparat kepolisian yang merusak marwah demokrasi substantif.
Di samping itu, pernyataan ini juga mendesak pemerintah pusat, daerah, dan kepolisian untuk mendengarkan, menimbang, dan menindaklanjuti temuan lapangan terkait pelanggaran HAM.
Pada bagian paling terakhir, PP Muhammadiyah melalui LHKP dan MHH PPM meminta pemerintah memitigasi secara serius, akuntabel, transparan, independen, dan profesional Proyek Strategis Nasional ini dan dampaknya pada lingkungan hidup. (ykk)