REPUBLIKA.CO.ID, TORONTO -- Kate Taylor, dalam sebuah artikel yang dimuat di The Globe And Mail, menyampaikan tanggapannya soal pameran Museum Aga Khan baru-baru ini. Dia adalah kritikus seni visual di Globe and Mail dan menulis tentang kebijakan film dan budaya.
Dia memulai pemaparannya dengan menyampaikan, di salah satu sudut pameran di Museum Aga Khan, terdapat panel ubin biru dan putih yang dibuat di Suriah pada abad ke-16. Ini memperlihatkan gapura, lentera dan siluet gelap sepasang sandal. Ini adalah sandal Nabi Muhammad SAW.
Panel tersebut menegaskan pemahaman Barat tentang peran seni dalam Islam. Pameran ini mengangkat tema visual, yang terkadang di setiap kesempatan bertentangan dengan interpretasi itu sendiri.
Menurut Ulrike Al-Khamis, yang ditunjuk sebagai direktur museum Toronto Juli lalu dan menjadi kurator pertunjukan ini, itu benar-benar kesalahpahaman yang diciptakan oleh akademisi Barat.
"Mereka tidak memperhitungkan sifat kompleks dan beragam budaya Muslim. Pameran ini memperlihatkan fakta bahwa budaya Muslim, seperti budaya lainnya, memiliki citra dalam kaitannya dengan kebutuhan mereka," tutur dia, seperti dilansir The Globe And Mail, Rabu (27/4/2022).
Salah satu kebutuhan tersebut adalah ekspresi kekuasaan politik. Di bagian bertema itu, ada miniatur halus yang merayakan penyempurnaan kaisar Mughal, yang memerintah sebagian India, Pakistan, dan Bangladesh dari abad ke-16 hingga ke-19. Sementara potret foto terbaru menegaskan kesinambungan dinasti rumah kerajaan di negara-negara Teluk.
"Halus atau tidak begitu halus, gambar pemimpin adalah bentuk propaganda. Ini adalah poin yang dibuat oleh seniman Iran saat ini Siamak Filizadeh dalam montase foto 2014 berjudul Coronation yang menunjukkan raja Persia abad ke-19 Naser al-Din Shah duduk di sebuah tahta yang ditopang oleh kaki wanita dan dikelilingi oleh gambar-gambar lain," jelas Taylor.