Kamis 28 Apr 2022 20:21 WIB

Ekspor CPO Dilarang, DMSI: Pabrik Jangan Turunkan Harga TBS Petani

Kesepakatan harga TBS dilakukan secara tertulis dan dengan persetujuan kepala daerah.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja mengumpulkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas truk (ilustrasi). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta kepada seluruh pabrik kelapa sawit (PKS) agar tidak memanfaatkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk menurunkan harga bahkan tak membeli tanda buah segar (TBS) sawit dari para petani.
Foto: ANTARA/Akbar Tado
Pekerja mengumpulkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas truk (ilustrasi). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta kepada seluruh pabrik kelapa sawit (PKS) agar tidak memanfaatkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk menurunkan harga bahkan tak membeli tanda buah segar (TBS) sawit dari para petani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta kepada seluruh pabrik kelapa sawit (PKS) agar tidak memanfaatkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk menurunkan harga bahkan tak membeli tanda buah segar (TBS) sawit dari para petani.

Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengatakan, meski di tengah larangan ekspor CPO, semestinya tidak ada kesulitan dari PKS untuk menyalurkan produksinya.

Baca Juga

"Kelebihan pasokan itu sangat diperkenankan. Misalnya suatu daerah butuh 100 ribu kilo liter (kl), tapi BUMN penyalurnya butuh 200 ribu kl ya silakan saja, dengan kelebihan ini tidak ada alasan untuk tidak membeli TBS petani," kata Sahat dalam konferensi pers, Kamis (28/4/2022) sore.

Sahat mengatakan, dengan luas area perkebunan milik petani mandiri sebesar 6,88 juta hektare (ha), rata-rata produksi sehari berkisar 157,3 ribu ton. Jika produksi itu dihambat dengan tidak diserap pabrik, maka petani bisa merugi Rp 550 miliar per hari.

Karena itu, Sahat pun meminta agar para PKS tidak bermain-main selama masa kebijakan larangan sementara ekspor CPO. Seluruh pabrik harus bekerja sama agar pemenuhan pasokan domestik segera terpenuhi dan membanjiri pasar.

Jika itu tercapai, otomatis larangan ekspor akan kembali dicabut sesuai janjir pemerintah. "Saya pikir kalau dijalankan dengan benar, bulan Mei semua akan selesai," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, mengaku, sejak 22 April lalu setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan larangan ekspor CPO, tidak ada PKS yang patuh terhadap kesepakatan harga TBS.

Padahal, kesepakatan harga TBS dilakukan secara tertulis dan dengan persetujuan kepala daerah setempat. Ketentuan tersebut pun diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018.

Akibat situasi tersebut, Gulat mengatakan harga TBS seketika anjlok. "Rata-rata penurunan mencapai 30-70 persen dari yang tertulis di kertas kesepakatan," katanya.

Karena itu, Gula meminta agar Presiden Joko Widodo juga mempertegas kepada PKS untuk mematuhi kesepakatan harga TBS. "Tanpa itu, kita sama saja mengobati satu penyakit tapi muncul penyakit lain," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement