Kamis 28 Apr 2022 22:32 WIB

Indonesia Bakal Kelebihan 32 Juta Ton Sawit dari Pemberhentian Ekspor

Pemerintah melarang ekspor CPO, olein dan minyak goreng.

Red: Nidia Zuraya
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Dalam beberapa hari terakhir harga kelapa sawit di daerah tersebut mulai menurun dari Rp3.780 ribu per kilogram menjadi Rp2.200 ribu per kilogram, penurunan itu terjadi menyusul adanya kebijakan terkait larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mulai 28 April mendatang.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Dalam beberapa hari terakhir harga kelapa sawit di daerah tersebut mulai menurun dari Rp3.780 ribu per kilogram menjadi Rp2.200 ribu per kilogram, penurunan itu terjadi menyusul adanya kebijakan terkait larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mulai 28 April mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA - Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman Muhammad Ikbal menyebut keputusan pemerintah memberhentikan ekspor sawit ke luar negeri khususnya China dan India memberikan dampak luar biasa terhadap pasokan sawit dalam negeri dan nantinya Indonesia akan kelebihan 32 juta ton sawit.

"Produksi sawit dalam negeri itu sekitar 50 juta ton dengan Domestic Market Obligation (DMO) hanya 18 juta ton yang terbagi di beberapa industri termasuk biosolar dan minyak goreng," terang Ikbal di Samarinda, Kamis (28/4/2022).

Baca Juga

"Selebihnya, Indonesia akan kelebihan produksi sekitar 32 juta ton. Ini yang menjadi masalah karena sawit sifatnya harus dipanen dan harus diproduksi," sambungnya.

Hal tersebut, lanjutnya, berbeda kondisinya dengan komoditas batu bara yang jika dibiarkan beberapa saat setelah ditambang tidak akan menurunkan harganya.Sementara jika China dan India memberi balasan, ia mengaku tidak akan berdampak bagi Kalimantan Timur (Kaltim) karena beberapa produk yang diimpor dari China dan India adalah bahan baku kimia seperti logam, karet sintetis, kertas, besi dan baja.

"Ini nggak masalah karena ada sumber impor lain yang memang bisa kita alihkan, yaitu Brasil dan Jepang yang menjadi eksportir bagi Indonesia untuk bahan baku industri tersebut," jelasnya.

Ia menegaskan, jika terjadi serangan balasan dari China dan India kemungkinan yang mengalami dampak adalah daerah Jawa dan sekitarnya karena industri kimia di Kaltim terbilang kecil.Terus dikatakannya, satu satu ancaman bagi Kaltim adalah dalam jangka pendek petani sawit mengalami penurunan harga sehingga tidak bisa menjual dan mengakibatkan rendahnya pendapatan.

"Pada akhirnya nanti akan mengalami degradasi pada daya beli masyarakat khususnya petani sawit. Kalau pekebun besar mereka punya modal untuk bertahan," ungkapnya.

Dosen Akuntansi FEB Unmul itu meyakini, kebijakan pemerintah tersebut dalam rangka melakukan aksi dari sisi pasokan. Artinya, ketika pasokannya lebih banyak maka mampu menekan harga minyak goreng dalam negeri.

"Pemerintah juga sudah berjanji kebijakan ini hanya dalam waktu singkat, sekitar 20 hari sampai dua bulan. Setelah harga dalam negeri kembali stabil maka ekspor akan dibuka kembali," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement