REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teuku Adifitriyan alias dr Tompi berbagi pandangannya perihal Idul Fitri dan kisah hidupnya. Dokter bedah kecantikan yang juga salah satu penyanyi pria bersuara khas ini berbagi di acara ‘ Jakarta Ramadhan Festival: Tak Pernah Setengah Hati, Believer Bliss’, Sabtu (30/4) sore. Acara diselenggarakan di Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selain Tompi, turut hadir dalam bincang bincang adalah Ustaz Yusuf Mansur.
Tompi berbincang di panggung di tengah mall, dilewati oleh lalu lalang pengunjung pusat perbelanjaan. Tak sedikit pengunjung yang berhenti untuk mendengar tuturan Tompi yang dipandu oleh Brand Strategist Ria R Christiana itu.
Kepada Tompi, Ria mengajukan pertanyaan, “Apa makna Idul Fitri bagi seorang Tompi?” Penyanyi berdarah Aceh ini menjawab, Idul Fitri atau fitrah tidak sekadar kembali suci atau kembali nol tanpa dosa. Sebagai manusia yang hidup, menurut dia, maka kehidupan adalah terus bergerak, berproses dan berjalan. “Manusia itu tempatnya salah,” kata Tompi, melanjutkan. Karena itu, hidup harus diisi salah satunya dengan cara bagaimana selalu memperbaiki kesalahan itu. Menjadi orang yang lebih baik dan lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat. “Minimal dari lingkaran terdekat kita dulu,” kata dia.
Ia lalu bertutur soal jalan hidupnya. Tompi tumbuh besar di Lhoseumawe, Aceh. Ibunya adalah seorang seniman. Ia mengaku sedari kecil bercita cita ingin bersekolah di Jakarta. Sekolah apa? Awalnya Tompi malah tidak berpikir sama sekali soal kedokteran. “Saya awalnya mau masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mau jadi seniman,” kata dia.
Namun sang ibunda keberatan. Meskipun ibunda juga seorang seniman, ia tidak ingin Tompi mencecap sukarnya hidup sebagai seniman. Terhadap ini Tompi mengingatnya bahwa pada saat itu memang seni belum mendapat apresiasi yang cukup dari publik dan negara. “Orang memang senang lihat seni, tapi yang mau membayar melihat seni itu mahal,” kata Tompi. Akhirnya ibunda memintanya untuk bersekolah di kedokteran UI.
Tompi mengakui ia awalnya tidak suka diminta kuliah kedokteran. Nilainya memang tidak jelek jelek amat. Karena itu sejak masuk Fakultas Kedoktera UI, ia selalu berjibaku. “Ini bukan yang saya inginkan,” katanya mengingat. Sampai di satu titik, Tompi bisa menemukan ‘garis merah’ antara seniman dan kedokteran itu. “Kalau saya suka berkesenian, mengapa saya tidak mencoba untuk menganggap kedokteran itu sebagai sebuah kesenian?” kata dia.
Pembawa acara Ria R Christiana menilai pada saat itulah mental Tompi teruji. Karena terbukti bisa beradaptasi di lingkungan yang awalnya tidak sesuai dengan keinginannya. Tompi menjawab, ia akhirnya menjadikan bedah seperti operasi bibir sumbing, operasi sambung tangan, operasi kanker, sampai ke operasi plastik, sebagai satu bagian dari kesenian itu sendiri . “Dulu saya anggapannya masih terkotak-kotak bahwa seniman itu harus penyanyi bintang film. Sekarang tidak. Dokter juga bisa jadi seniman.” Ia kemudian memutuskan, untuk melakukan sesuatu yang ia suka atau membuatnya menyukai sesuatu yang harus ia lakukan.
Bagamaina Tompi memandang momen dekat dengan Tuhan? Terhadap pertanyaan ini, pelantun ‘Ramadhan Datang’ ini mengatakan ia mencoba menyeimbangkan waktu terus menerus mengingat Tuhan. “Kita cenderung ingat Tuhan saat lagi susah. Kita berdoa lebih lama kepada Tuhan saat ditimpa masalah, saat kita butuh. Selemah lemahnya kita bisa berdoa semalaman, sambil menangis. Tapi saat kita dapat bonus, ada kerjaan bagus, kerjaan banyak, doa kita hanya Alhamdulillah. Padahal harusnya menurut saya porsinya sama,” kata dia menuturkan.
Untuk selalu dekat dengan Allah SWT, Tompi mengaku sebisa mungkin menjadi orang yang tulus dalam semua. “Ini tidak gampang,” kata dia. “Kita sering sekali tidak tulus.” Kita bisa tulus mengerjakan semuanya karena itu memang sudah seharusnya. Beribadah, misalnya, kata Tompi. “Jangan dilihat hanya dari wajibnya. Tapi ya memang karena kita butuh beribadah kepada Allah SWT.” Pada proses belajar beribadah, sambung dia, memang bisa ada kewajiban, namun ini berubah pada kesadaran bahwa manusia memang harus beribadah . “Memang seharusnya melakukan ibadah.”