Ahad 01 May 2022 14:00 WIB

Akademisi Universitas Muhammadiyah: Tulisan Rektor ITK Berbahaya Bagi Indonesia

Tulisan rektor ITK dinilai akademisi Universitas Muhammadiyah bahaya bagi Indonesia.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Muhammad Hafil
Akademisi Universitas Muhammadiyah: Tulisan Rektor ITK Berbahaya Bagi Indonesia. Foto: Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan Budi Santosa Purwakartiko
Foto: itk.ac.id
Akademisi Universitas Muhammadiyah: Tulisan Rektor ITK Berbahaya Bagi Indonesia. Foto: Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan Budi Santosa Purwakartiko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tulisan rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan, Budi Santoso Purwokartiko yang tular di media sosial mendapat tanggapan negatif dan kritik dari banyak pihak. Seorang dosen dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan menanggapi tulisan Budi Santoso yang ia anggap memuat rasisme tersebut.

Ia menilai tulisan Budi Santoso itu sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang beragam. “Keragaman etnis, agama, suku, ras dan identitas lain harus dipandang secara bijak dan arif, jangan mudah melakukan stereotype kepada yang berbeda,” ujar Radius dalam keterangannya, Ahad (1/5/2022).

Baca Juga

Radius menjelaskan penggunaan kata tersebut bernada mendiskriditkan identitas agama tertentu. Apalagi dalam konteks aktual, di tengah polarisasi politik yang menguat, diksi tersebut seringkali digunakan golongan tertentu untuk memberi label rendah kepada yang pikirannya tidak sejalan dengan kelompoknya.

“Rasanya susah tidak menyebut apa yang ditulis Prof Budi Santoso dalam status facebooknya sebagai tindakan rasis. Beliau menggunakan istilah penutup kepala manusia gurun yang diduga menyindir hijab,” jelas Radius.

Dalam keterangan tertulis dosen pengajar mata kuliah Cross Culture Understanding (CCU) tersebut menjelaskan bahwa rasisme berasal dari suatu sikap mental yang memandang orang lain berbeda dengan diri sendiri secara permanen. Cara berpikir rasis mempunyai kecenderungan mengganggap yang berbeda layak dianggap rendah. Perbedaan tersebut dilihat dari fisik, ras, agama, suku dan identitas lain.

“Akibat dari cara berpikir tersebut, orang mudah sekali melakukan stereotype atas sesuatu hal yang dianggapnya berbeda dan rendah,”katanya lagi.

Menurutnya stereotype adalah proses menggeneralisasikan keseluruhan kelompok atau entitas dari suatu fenomena berdasarkan sedikit pengetahuan yang didapat dari anggota kelompok atau entitas tersebut.

“Di era digital seperti sekarang ini, kesadaran untuk melawan sikap rasis harus kita dukung dan terus suarakan. Tujuannya agar kita semua berhati-hati dalam menulis, berucap dan bertindak. Lebih-lebih terkait sesuatu hal yang berbeda dalam suatu kelompok atau entitas lain,” imbuhnya.

Dalam tulisannya itu, yang dipublish 27 April 2022, dengan nama akun Facebook Budi Santoso Purwokartiko menyebutkan ia sedang menguji mahasiswa yang ikut beasiswa LPDP. Dalam tulisan itu ada kalimat yang dinilai merendahkan kalimat-kalimat suci seperti Barakallah, dan Qadarallah. Selain itu, Budi juga menyebut pakaian penutup kepala ala manusia gurun yang mengarah kepada jilbab.

Berikut tulisan lengkap Budi yang membuat gaduh:

Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa.

Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa.

Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb.

Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi 

posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek.

Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi.

Saya hanya berharap mereka tidak masuk dalam lingkungan yang membuat hal yang mudah menjadi sulit.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement