REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kantor Luar Negeri Inggris pada Ahad (1/5/2022) mengatakan, Rusia membentuk organisasi khusus untuk menyebarkan disinformasi tentang perang di Ukraina, di media sosial. Rusia menargetkan politisi di sejumlah negara termasuk Inggris dan Afrika Selatan.
Temuan ini berdasarkan hasil penelitian para ahli yang didanai pemerintah Inggris, namun tidak dipublikasikan. Penelitian tersebut mengungkap kampanye disinformasi Kremlin, yang dirancang untuk memanipulasi opini publik internasional tentang invasi Rusia ke Ukraina. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan dukungan invasi dan merekrut simpatisan baru.
"Kami tidak dapat membiarkan Kremlin menyerang ruang online kami dengan kebohongan mereka tentang perang ilegal (Presiden Rusia Vladimir Putin). Pemerintah Inggris telah memperingatkan mitra internasional dan akan terus bekerja sama dengan sekutu dan platform media, untuk melemahkan operasi informasi Rusia," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss.
Moskow telah membantah tuduhan negara-negara Barat tentang kampanye disinformasi, misalnya tuduhan Washington bahwa Rusia berusaha ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016. Inggris mengatakan penelitian menunjukkan Rusia menggunakan Telegram untuk merekrut dan mengoordinasikan pendukung baru, yang kemudian menargetkan profil media sosial kritikus Kremlin. Rusia mengirim spam kepada mereka dengan komentar yang mendukung Presiden Vladimir Putin dan operasi militer di Ukraina.
Di antara mereka yang menjadi target adalah menteri senior Inggris dan pemimpin dunia lainnya. Jejak operasi telah terdeteksi di delapan platform media sosial termasuk Telegram, Twitter, Facebook dan TikTok.
Rusia menyebut tindakannya di Ukraina sebagai "operasi khusus" untuk melucuti senjata dan melindunginya dari fasis. Ukraina dan Barat mengatakan tuduhan itu tidak berdasar, dan perang adalah tindakan agresi yang tidak beralasan.
Rusia mengatakan, media Barat telah memberikan narasi parsial yang berlebihan tentang perang. Narasi Barat sebagian besar mengabaikan kekhawatiran Moskow tentang perluasan NATO dan penganiayaan terhadap penutur bahasa Rusia di Ukraina. Hal ini dibantah oleh Kiev.