REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda, mendesak Rektor Institut Teknologi Kalimatan (ITK), Budi Santosa Purwokartiko, mengklarifikasi dan meminta maaf terkait pernyataannya yang dinilai bernada SARA. Dalam pernyataannya lewat akun media sosial, Budi Santosa menyamakan penggunaan penutup kepala atau kerudung dengan 'manusia gurun'.
Namun jika tidak ada respons baik dari yang bersangkutan, ia menyerahkan persoalan tersebut kepada aparat penegak hukum. "Kalau banyak pihak yang tidak setuju dengan ini, misal tidak ada respons sepadan dari yang bersangkutan, saya kira ditempuh jalur hukum saja atau polisi langsung investigasi terkait dengan ini, memitigasi dan investigasi persoalannya seperti apa, karena ujaran kebencian ini sudah ada di teks terbuka, sudah ada di ruang publik, artinya semua ruang yang sifatnya berdimensi hukum saya kira tidak ada masalah untuk ditempuh, kita lihat perkembangannya gimana," kata Syaiful saat dikonfirmasi, Ahad (1/5/2022).
Namun, ia tetap berharap agar perkara tersebut tidak perlu sampai dibawa ke kepolisian. Karena itu dirinya mendesak Budi meminta maaf ke publik sesegera mungkin.
"Semoga cukup dengan permohonan maaf ya, saya mendorong dalam suasana begini, karena kekhilafan seseorang, saya mendorong yang bersangkutan secepatnya mengklarifikasi, tabayun di ruang publik, dan saya kira publik lagi-lagi harus kita ajak untuk berhati besar memaafkan peristiwa semacam ini," tuturnya.
Politikus PKB itu menyesalkan pernyataan bernada SARA disampaikan oleh akademisi yang juga seorang rektor. Mestinya yang bersangkutan tidak perlu menulis refleksi yang sifatnya personal dan sangat berdimensi diskriminatif rasis dalam blog personal.
"Pada konteks itu saya menyesalkan dan tidak setuju, terlebih ini ditulis oleh seorang profesor, seorang akademisi, yang di mata publik saya kira termasuk semestinya yang tidak menjadikan ruang publik diisi dengan refleksi personal yang sangat diskriminatif rasis," ungkapnya.
Syaiful menambahkan, seharusnya seorang akademisi meredam ujaran kebencian di tengah masyarakat. Namun Rektor ITK tersebut justru melakukan ujaran kebencian di depan publik.
"Ini malah berkontribusi, seolah-olah ini dunia kampus akademisi berkontribusi menambah tidak produktifnya di ruang publik karena ujaran-ujaran kebencian yang semacam itu," ujarnya.